6.1.13

the plane


Title              : The Plane
Author          : d i a
Cast              : Gweboon? Taeyeon? Uhm.. mending dibaca sampai ending.
Genre           : Akan terlihat seiring berjalannya waktu (sesungguhnya akupun tak tahu)
Wordcount   : 4.925 words
Backsound   : Beneran SHAWOL? Berarti tau donk ya.. backsoundnya lagu apa aja?
Length         : One shoot
Disclaim      : SHINee bukan punya saya, tapi DIA, orangtua mereka juga SHAWOL. Tapi   cerita ini murni dari kepala saya
Warning     : Dimohon membacanya baik-baik. Ini bukan kisah sedih. Juga bukan horror.  Tapi saya harap, ketika kalian membacanya. Kalian bisa mengerti apa yang rasakan ketika saya rasakan ketika saya menulis cerita ini. Sesungguhnya kisah ini terlalu lama. Tapi saya baru ada kesempatan mem-publish-nya sekarang. Maaf. Ketika kalian menganggap ini absurd, it’s okay. Tetapi selamat menikmati cerita inilah ya..

 

Ngung.. Ngg.. Ngung..
                Lagi. Aku mendengar sebuah suara yang sudah tak asing bagiku. Suara yang selalu bisa membuatku menoleh keatas dan memandangnya hingga ia tak tampak lagi. Menghilangtertutupawan.
               
Entah, aku tak mengerti mengapa belakangan ini aku selalu senang mendengar suara itu dan memandangnya. Aku tahu, jika perbuatan itu amatlah membosankan. Seperti tak ada sesuatu hal lain yang dapat dikerjakan selain menatap benda besar yang tampak kecil di atas sana.
               
***

“Melihat pesawat lagi?”

Perempuan dengan rambut panjang sebahu dan diikat hanya diam. Tak mengabaikan perkaatan temannya. Ia hanya menatap ke langit. Melihat benda besar itu tanpa bergumam apapun. Ia hanya tersenyum tipis.

Perlahan benda besar itu menghilang tertutup awan dan pergi entah kemana. Sesaat perempuan itu menghela nafas kecewa. Mukanya yang tadi cerah mendadak muram. Ia memajukan bibirnya dengan malas.

“Gwiboon!”

Seolah tak mendengar temannya yang memanggil namanya, ia hanya berjalan lunglai. Meninggalkan seseorang yang menatapnya heran, kemudian berjalan cepat menghampirinya.

“Yah! Gwiboon.” Teriaknya seraya menepuk  pundak Gwiboon pelan.

Dengan cepat ia menoleh dan menatap temannya itu dengan heran, “Ka.. Kau memanggilku?” Tanyanya gugup.

“Jadi.. Kau tidak mendengar jika aku memanggilmu sedari tadi. Dan berjalan sendiri tanpa menungguku? Teman macam kau!!” Sungut temannya dengan raut muka yang masam.

Gwiboon diam sesaat. Mengingat hal yang sempat yang dilakukannya tadi. Kemudian ia memeluk tubuh sahabatnya itu ketika ia mengingat apa yang telah dilakukannya tadi. Yang membuat sahabatnya ini marah padanya.

“Taeyeon! Aku minta maaf.” Ucapnya bersalah, masih memeluk sahabatnya itu dengan erat. “Aku sungguh minta maaf.”

Taeyeon melepaskan pelukan Gwiboon yang sesaat membuat tubuhnya susah bernapas. “Yeah! Aku mengerti. Aku memaafkanmu.” Ia tersenyum tulus pada Gwiboon. “Lagipula, aku tak benar-benar marah padamu.”

Mendengar perkataan Taeyeon, membuat Gwiboon tersenyum sumringah. Dan menarik tangan Taeyeon ke dalam sebuah bangunan yang biasa disebut café. “Aku akan menraktirmu.” Ucapnya dengan semangat.

“Gwiboon..”

Gwiboon yang mendengar namanya dipanggil, menatap Taeyeon seolah menunggu perkataannya. Sendok yang ia pakai untuk menyuapi es krim ke mulutnya belum ia lepaskan, membuat wajah manis itu terlihat lucu.

Dua menit berlalu, Taeyeon masih tak melanjutkan kata-katanya. Malah asyik memasukkan es krim itu ke mulutnya. Gwiboon hanya melongo memandang wajah imut di depannya ini. Kemudian ia memainkan bibir mungilnya seolah sebal dengan tingkah laku sahabatnya ini.

“Yah! Taeyeon! Kini kau yang membuatku sebal.” Ia menatap Taeyeon dengan muka yang ditekuk, sedangkan Taeyeon memandangnya dengan wajah yang kaget dan tak berdosa. “Mengapa wajahmu malah menunjukkan seolah kau tak ingin berbicara apa-apa.” Ujarnya lagi.

“Aku tak mengerti apa yang kau bicarakan, Gwiboon!” Ia masih menatap Gwiboon dengan muka polosnya.
Gwiboon terlihat gemas menatap wajah di depannya ini. “Tadi kau memanggilku ada apa? Kau menggantungkan ucapanmu dan membiarkanku menunggunya, begitu?”

Taeyeon mengingat sebentar apa yang akan ia katakana pada Gwiboon. “Entahlah, Gwe! Aku lupa.” Ucapnya seraya melanjutkan memasukkan es krim ke mulutnya.

“Arggh!” Gwiboon hanya bergumam dengan kesal.

***

Aku tak pernah bosan mendengar suara itu. Seperti sebuah alunan musik yang mengiringi pementasan awan, yang menyuguhkan keindahan di balik lukisan yang dibuat oleh-Nya. Benda itu hanya penghias diantara ribuan awan yang beranjak ketika ia bosan.

Suara itu. Benda itu. Adalah sesuatu yang special buatku. Sesuatu yang membuatku berharap dan terus berharap. Kelak ia bisa membawaku ke tempat itu. Ke suatu tempat yang ku inginkan.

***

“Lihatlah, banyak bintang betaburan. Bulannya juga indah. Aku senang jika pemandangan malam seperti ini.”

Sekilas Gwiboon menatap sahabatnya itu seolah tersenyum. Gadis mungil di sampingnya ini, selalu bisa mengisi hari-harinya yang membosankan. Usianya dan Taeyeon berbeda 2 tahun. Tapi itu tak membuat Taeyeon memanggilnya kakak, melainkan namanya langsung.

Awalnya ia sempat sebal dengan Taeyeon. Walau bagaimanapun, ia lebih tua dibanding gadis mungil ini. Tapi lama kelamaan, ia cukup terbiasa. Ia menganggap Taeyeon seperti adiknya sendiri, karena ia adalah anak tunggal.

Ia mengenal Taeyeon tak sengaja, saat ia dengan terpaksa mengurus anak kecil ini ketika ia pingsan saat ada ospek Mahasiswa Baru. Sebenarnya Gwiboon masih ingin memarahi para mahasiswa baru tersebut, tapi karena para mahasiswa yang menjaga ruang kesehatan sedikit dan (mungkin) telah habis, sehingga ia harus menjaga anak ini (dengan terpaksa).

Entahlah, tapi cukup banyak mahasiswa yang pingsan saat mereka sedang dimarahi. Sehingga membuat para mahasiswa yang bertugas menjaga ruang kesehatan kerepotan. Jadilah, Gwiboon ikut berpatisipasi.

Ngung.. Ngg... Ngung..

Suara itu terdengar lagi, dan dengan seketika Gwiboon menatap keatas. Melepas pandangannya yang tadi memandangi Taeyeon dengan seksama.

Benda itu kini Nampak lebih indah. Karena ia mengeluarkan lampu yang berwarna merah, sebagai tanda jika ia sedang terbang bebas ke angkasa. Meninggalkan hiruk pikuk kepadatan kota. Kerlap kerlip lampunya seperti bintang yang bersinar.

Taeyeon menatap Gwiboon dengan senyum simpul yang terpancar di bibir plumnya. Sesaat ia menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah laku sahabatnya ini.

“Kau tak pernah lelah memandangi benda itu? Suaranya seperti radar yang mengharuskanmu menatap keatas.”

Gwiboon balas menatap Taeyeon dan tersenyum simpul. “Karena benda itu yang akan membawaku ke sana. Ke negeri impianku. Dan.. Bertemu dengannya.”

“Haha.. Kau tau Gwe! Kau lucu! Kau aneh!” Taeyeon hanya tertawa mendengar perkata sahabatnya itu.

“Kau yang aneh! Tertawa tanpa sebab yang jelas!”

Taeyeon menghentikan tawanya dan menyentuh pundak temannya itu dengan pelan. “Asal kau tahu saja, Gwe. Kau bisa ke negeri itu tanpa benda yang suaranya seperti gumaman tak jelas. Kau bisa menaiki kapal atau bersepeda menuju ke negeri itu.”

“Haha..” Kini giliran Gwiboon yang tertawa lepas. “Kau gila! Berapa hari aku sampai itu jika aku naik kapal? Dan benda itu bisa membawaku kesana selama 7 jam perjalanan.” Ujarnya saat tawanya terhenti kemudian menatap wajah di sampingnya. “Kau itu.. Polos atau bodoh?!”

Taeyeon yang mendengar pertanyaan Gwiboon hanya memanyunkan mulutnya dengan kesal. Ia selalu berkata sesuatu yang menyebalkan disaat yang tepat. Dan itu selalu sukses membuat Gwiboon mengejeknya.

***

Aku melihat benda itu bukan karena aku tak pernah menaikinya. Aku pernah menaiki benda itu beberapa kali, saat libur tiba. Saat aku harus balik ke kampung halamanku. Tapi benda itu belum mengajakku untuk ke tempat itu, negeri impianku.

***

“Jiool sudo eopseo beoril sudo eopseo
ddo harureul beotigo
Ni anae nan gadhyeo
nae maeumman jichyeo, no, no, no….”

Taeyeon melepaskan headphone yang masih bertengger di telinga seseorang. Melepaskannya dengan paksa. Membuat orang tersebut, memgerakkan tubuhnya yang tadi menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Menatap wajah Taeyeon dengan malas.

“Sampai kapan kau akan terus menangis?”

Gwibbon hanya diam tak menjawab pertanyaan Taeyeon. Mata kucingnya malah menatap sebuah pigura foto yang dipajang rapi di atas meja belajarnya. Terlihat lima orang pemuda dengan senyum manis mereka, memperlihatkan gigi putih mereka yang rapi. Juga keakraban yang mereka miliki.

Kemudian ia membenamkan wajahnya dan juga tangannya diantara kedua kaki mulusnya. Taeyeon mengelus rambut ikal Gwiboon dengan sayang.

“Aku yakin suatu saat kau bisa bertemu dengan mereka. Bukan hanya dalam mimpi dan juga khayalanmu.” Ia memeluk tubuh Gwiboon yang kini seolah tak bertenaga.

I hope.” Ujarnya lemas seraya menatap wajah Taeyeon dengan muka yang memelas.

“Aku tak mengerti, mengapa kau kini tergila-gila dengan mereka. Bahkan dulu, kau tak suka sesuatu hal yang berhubungan dengan mereka dan semacamnya.” Tanya Taeyeon dengan tatapan tajam seolah meminta jawaban.

“Huu.. Haa..” Gwiboon hanya menghela napas panjangnya.

“Entahlah. Mungkin aku kena karma.”

“Haha.. Kau lucu, Gwe!”

“Aku berbicara serius!”

“Yayaya.. Aku tahu. Kau memang selalu berpikir dewasa, selalu bisa menyelesaikan masalahmu sendiri. Tapi tidak untuk hal ini. Kau terlihat seperti anak remaja yang baru gede.”

Whatever! Aku tak peduli.”

“Kuharap kau tidak mengejekku saat aku menyukai sesuatu. Yang akhirnya berakibat dengan tingkahmu yang…” Taeyeon menatap Gwiboon sesaat. “…. Seperti ini.”

Gwiboon balas memandang Taeyeon tajam. “Maksudmu dengan kata-kata, ‘tingkahku yang seperti ini..’ itu apa?”

“Kau berlebihan.”

“Aku tak peduli. Yang jelas aku sudah menyukai mereka. Apa itu salah?”

“Tentu saja tidak. Aku mengerti perasaanmu. Karena aku juga ingin menemui mereka.”

Gwiboon memukul pelan lengan Taeyeon. “Kau mau bilang jika kau ingin bertemu dengan mereka, haruskah berbelit-belit seperti ini? Memojokkanku terlebih dahulu, kemudian mengakuinya? Haha.. Adik kecilku belajar menjadi dewasa rupanya.”

Gwiboon memeluk Taeyeon. “Aku harap kita bisa ketemu mereka ya.” Ujarnya lagi. Taeyeon hanya membalas dengan senyum. Walau ia tahu, Gwiboon tak melihat senyumnya itu.

***

Benda itu membuatku berharap lebih dan lebih. Membuat semangatku kian membara. Mengumpulkan secercah uang hanya untuk bisa menaiki benda itu, tanpa meminta secuil uang dari orang tua.

***

“Mereka semakin sibuk ya. Semakin susah untuk ditemui, mungkin.” Taeyeon merebahkan dirinya di kasur big size-nya Gwiboon seraya melemparkan majalah yang tadi dibacanya.

Gwiboon memandang dirinya di cermin. Menatap tajam. Mata kecingnya dengan bulu mata yang lentik, bibir mungil bak cerry, hidung mancung yang indah, wajah tirus yang putih. Sesaat sudut-sudut bibirnya mengembang.

‘Apakah mungkin jika Ia menjadi …’ Gwiboon menggeleng-gelengkan kepalanya menghilangkan suatu hal yang sempat hinggap dipikirannya.

Puk!

Sebuah benda yang lumayan keras mendarat mulus di kepalanya kemudian terjatuh ke lantai. Membuatnya menoleh ke belakang, ke arah seseorang yang memukulnya tadi.

“Yah! Betapa tidak sopannya kau padaku. Ingat ya, aku lebih tua darimu. Jangan berani padaku.” Teriaknya nyaring. Kemudian berdiri dan mengambil bantal tak bersalah di lantai dan melemparnya kembali ke Taeyeon. Dengan gerakan lincah Taeyeon berhasil mengambil bantal itu.

“Salahmu, Gwe! Kau selalu tak memperhatikan setiap perkataanku.” Ia mengambil orange juice yang tak jauh dari tempat tidur. “Aku tak peduli. Apa kau lebih tua dariku atau tidak.” Ia membaringkan tubuhnya kembali ke kasur.

“Kau benar-benar kurang ajar.” Gwiboon menjatuhkan dirinya tepat diatas tubuh Taeyeon yang sedang tengkurap sambil membaca majalah.

“Auu!” Teriaknya kencang. “Sakit, tau!”

“Aku tak peduli! Kau selalu membuatku gemas!” Ia membaringkan tubuhnya sejajar dengan Taeyeon. “Kau membaca apa sih?” Ia menarik majalah yang sedang dibaca Taeyeon.

Gwiboon melihat artikel yang tertulis disana dan melihat wajah-wajah yang familiar baginya. “Mereka selalu tampan.” Ujarnya seraya menyunggingkan senyum manisnya itu. “Tapi susah diraih.” Lirihnya pelan.

Taeyeon memeluk pundak sahabatnya itu. “Aku muak dengan suasana yang mendadak sedih gini. Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar saja?” Ia menarik tangan Gwiboon dengan paksa. “Cepat ganti pakaianmu.”

***

Tak pernah lelah mendengar suara itu. Tak pernah bosan memandang wajah itu. Karenanya, membuatku untuk tak lelah menatap ke langit mencari benda besar itu yang terlihat kecil dari bawah sini.

***

“Aku heran mengapa mereka suka dengan cowok-cowok yang…”

“Aku juga tak habis pikir, apa habisnya sih…”

“Aku rasa mereka hanya melihat wajah…”

Gwiboon mendengus kesal mendengar percakapan para mahasiswa di jurusannya itu. Hampir saja ia memukul meja, jika Taeyeon dengan cepat mengajaknya pergi dari sana. Dan menuju sebuah taman.

Gwiboon memang bukan mahasiswa kampus ini lagi. Karena ia sudah dinyatakan lulus tepat sebulan yang lalu. Dan kini ia hanya menemani Taeyeon yang sedang mencari data tugasnya di perpustakaan.

Dan ia malah mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan saat dikantin tadi. Suara-suara melengking yang berbicara dengan asal. Membuat emosinya naik.

“Gwe! Kau gila.”

Gwiboon hanya diam. Ia masih marah dengan perkataan orang-orang tadi. Ia menatap penuh kebencian kearah bunga-bunga yang tak bersalah.

“Aku tahu kau marah, aku tahu kau kesal. Sangat tahu! Tapi bukan berarti kau harus memukul meja.”

Gwiboon memandang wajah Taeyeon. “Kau tau kan yang mereka maksud tadi? Walau mereka tak menyebutkan secara langsung siapa yang mereka maksud. Tapi aku berpikiran jika mereka berlima adalah yang dimaksud dengan sekumpulan perempuan-perempuan tukang gossip itu.”

Taeyeon memeluk pundak Gwiboon mencoba menenangkan gadis yang penuh emosi ini. “Itu hanya pikiran, Gwe! Kau boleh marah, tadi tidak berlebihan. Ingatlah Gwe, kau dan mereka bukan siapa-siapa. Kau memang mengenal mereka, tapi apakah mereka mengenalmu?”

Perempuan berpipi tirus ini hanya menundukkan kepalanya. Menahan butiran Kristal yang mungkin saja akan jatuh sewaktu-waktu.

“Aku tak mengerti. Hatiku terlalu sakit, sedih, jika mendengar ada yang membicarakan mereka. Aku tahu mereka bukan milikku, bukan siapa-siapaku. Terutama dia. Tapi, apa salah jika aku berharap?” Kini ia memandang Taeyeon seolah meminta jawaban.

“Aku tak mengerti, mengapa untuk urusan seperti ini. Kau benar-benar terlihat childish, kau tidak seperti Gwiboon yang kukenal.” Ia menghentikkan perkataannya, melempar pandangannya kearah beberapa mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas di bawah pohon yang rindang.

“Kau tak salah. Tidak ada yang salah dengan sebuah harapan. Hanya saja, kita tidak terlalu larut kedalam sebuah harapan yang akan membuat kita akan sedih jika harapan itu hanyalah bayangan semu. Kau boleh berharap, asal kaupun berusaha mengejar harapanmu itu. Agar tak menjadi bayangan semu.”

Ngung.. Ngg.. Ngung..

Dengan cepat, Gwiboon mendongakkan kepalanya keatas mencari sumber suara itu. Menatapnya dalam. “Kapan ia membawaku kesana?” Tanyanya lirih.

“Suatu saat nanti. Pasti.” Jawab Taeyeon yang mendengar pertanyaan Gwiboon yang diucapkannya dengan pelan.

I hope. Benda besar itu bisa membawaku kesana.”

***

“Saranghaeyo geudaemaneul jeo haneulmankeum
Jungmal geudaeneun naega saneun eeyu.in geolyo
Geudaereul aju mani geudael michidorok anajugo shipeo
Ajik mani ppareungeojyo geureongeojyo…”

Taeyeon mengecilkan volume dari radio yang suaranya menggema kesuluruh penjuru ruangan. Kemudian duduk disamping Gwiboon yang sedang menggambar wajah mereka. Salah satu kebiasaan Gwiboon selain menatap ke langit dan mencari benda besar itu.

“Kau janji memberiku salah satu gambar mereka yang sudah kau lukis.”

“Apa aku menjanjikan seperti itu?” Gwiboon menyelupkan kuas kedalam gelas yang berisi sedikit air kemudian menorehkannya di atas sketchbook yang telah digambarnya tadi.

“Hmm.. Sebenarnya kau tidak mengiyakannya.”

“Berarti aku tidak berjanji.”

“Argh! Aku kesal.” Taeyeon membenamkan wajahnya diatas bantal. Kemudian menyenderkan tubuhnya ke tembok. “Aku heran. Aku ini jurusan desain sepertimu, tapi kenapa aku tidak bisa menggambar wajah yang terlihat mirip dengan orang yang kita gambar.”

“Hahaha..” Gwiboon menanggapinya hanya dengan tertawa.

“Yah! Mengapa kau hanya tertawa?” Taeyeon melirik tajam ke arah Gwiboon.

Gwiboon mengambil remote radionya dan mengganti lagu yang tadi terdengar menggema keseluruh ruanga dengan lagu yang beberapa hari ini sering diputarnya.

“I don’t know why I can’t move on
neega dashi doraol gut gata
hokshi hoohwijoongilgga
nae mamdo oomkigil soo ubsuh..”

“Gambaranmu memang tak sebaik gambaranku, tapi idemu selalu lebih cemerlang dari ideku. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mengapa kau harus kesal, hanya karena gambaranmu tak bagus, hah?”

Seketika Taeyeon memeluk Gwiboon yang sedang mengerikan gambannya yang basah. Gambaran hitam putih itu kini tampak lebih indah dengan warna-warni dari pensil warna yang telah ia torehkan tadi.

“Kau tahu, Gwe! Aku senang mendengar jawabanmu tadi. Bijak.”

“Terimakasih. Aku tahu kau akan berkata seperti itu.”

“Bukan Karena kata-katanya. Tapi karena Gwiboon-ku telah kembali.”

Gwiboon yang mengikat rambut panjang ikalnya keatas seketika menoleh cepat kearah Taeyeon. “What do you mean?”

“Saat-saat kau sedih karena mereka berlima.” Tunjuknya kearah sketchbook yang memperlihatkan wajah mereka berlima. “Kau terlihat berbeda, Gwe. Terlalu childish. Dan aku tak melihat Gwiboon-ku yang bijaksana. Tapi kini kau kembali.” Ia bersorak senang.

“Kau aneh. Kau tahu Taeyeon, kau adalah sahabatku yang paling aneh. Aku belum pernah menemukan orang-orang yang seaneh dirimu. Hahaha..” Gwiboon melanjutkan gambarnya.

“Sudah berapa banyak gambaran yang kau buat? Apa ini nanti akan kau berikan pada mereka? Terutama dia?”

“Uhm.. Kira-kira 50 lebih.  Entahlah. Maybe. Jika Tuhan mempertemukanku dengan mereka, aku akan memberikan ini. Tapi aku harapkan aku mendapat kesempatan itu. Kesempatan dengan mereka.”

Gwiboon memandang wajah mereka berlima dengan senyum manis yang mereka dari bibir cherry-nya.

***

Suaranya? Bisa membuatku larut kedalam nada yang mereka hasilkan. Entah itu lagu sedih atau riang. Wajahnya? Bisa membuatku tertawa lepas saat mereka menunjukkan ekspresi yang tak biasa. Tetapi kadang membuatku tersenyum kala melihat mereka tertawa lepas bahkan tersenyum manis.

Apa aku sudah gila? Entahlah. Aku tak tahu. Yang aku tahu. Aku ingin benda itu membawaku kesana. Hanya itu.

***

“Kau tidak bohong kan, Gwe?” Teriak Taeyeon dengan suara yang begitu nyaring.

“I’m serious, honey.”

“Aku tak bisa membayangkan hariku tanpa sahabat sepertimu, Gwe!”

“Kau kini semester 7. Satu tahun lagi kau lulus. Kau bisa menyusulku kesana. Don’t cry, honey.

Gwiboon memeluk pundak sahabatnya dengan sayang. Menenangkan gadis mungil itu. Sesungguhnya iapun sedih, karena ia harus berpisah dengan sahabatnya ini. Tapi mau gimana lagi, dia juga tak mau kehilangan kesempatan berharga ini.

Taeyeon melepas pelukan Gwiboon dan memandangnya dengan senyum yang mereka di bibir plum yang mungil itu.

“Sejujurnya aku sedih, Gwe. Tapi aku juga bahagia. Karena impianmu telah terkabul. Tak ada kabar yang lebih menyenangkan daripada itu kan?”

“Dan aku harus pastikan. Bahwa kau juga akan ke tempat itu. Menyusulku.”

I promise.”

Mereka saling menautkan jari kelingking mereka untuk menyatakan janji mereka. Janji persahabatan mereka.

“Ah!” Gwiboon terpekik pelan seraya beranjak dari duduknya. Berjalan menuju sebuah kanvas yang terbalut kain berwarna pearl blue.

“Aku memang tak pernah berjanji padamu. Tapi kuharap ini bisa menjadi kenangan-kenangan untukmu selama aku disana.”

Ia membuka kain itu dengan perlahan. Memperlihatkan wajah-wajah yang tak asing buat Taeyeon. Kemudian terlihat senyuman manis dari bibir mungil itu.

“Apa kau senang, adik kecilku?” Taeyeon hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab sepatah kata pun. Ia beranjak mendekati kanvas itu.

“Aku sengaja menggambar mereka berlima bersama kita berdua. Karena aku yakin, jika suatu saat nanti, kita dan juga mereka akan ada dalam sebuah kertas kosong yang kemudian berwarna menampilkan senyum kebahagiaan kita.”

“Gwe, thank you so much. Aku tak tahu, kata apa yang harus aku ucapkan padamu selain itu.” Taeyeon memeluk erat tubuh Gwiboon.

“Yang aku pinta, bukan kata terimakasihmu. Tapi keberadaanmu yang selalu ada disisiku. Menjadi sahabat yang mau menerimaku apa adanya aku.” Gwiboon membalas pelukan Taeyeon.

“Pasti.”

***

Benda itu seperti tahu doa-doa yang aku panjatkan tiap harinya. Seminggu lagi ia akan membawaku kesana. Ke negeri impianku.

Tapi aku tak tahu, apakah ia bisa mempertemukanku dengan mereka. Setidaknya ia memenuhi satu permintaanku.

***

“Gwiboon!”

Gwiboon yang sedang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya pergi terlonjak kaget. Dan menatap geram kearah Taeyeon.

Seolah tahu, jika Gwiboon akan meledak. Dengan segera, Taeyeon memperlihatkan iPad yang dia bawanya. Dan hal itu membuat Gwiboon memandang heran kearah iPad, menandakan jika ia melupakan kemarahan yang ia tujukan ke Taeyeon.

“Lihatlah!”

“Apa itu benar?”

“Tentu saja. Billboard tentang berita ini sudah mulai bertebaran di jalan pagi tadi.”

Gwiboon masih melihat iPad Taeyeon yang memperlihatkan sebuah info yang di lihatnya dari twitter.

“Tanggal 22 September?”

Yess. Kurasa tiketnya masih terjual deh. Apa kau membelinya. Ini kesempatan bagus, Gwe.”

Gwiboon terlihat ragu. Kemudian mengangguk. “Aku nggak melihatnya.”

“Kau bodoh! Bukankah kita ingin melihat mereka secara dekat? Inilah kesempatannya.”

Gwiboon memandang pigura foto yang terletak di atas meja belajarnya itu. Kesempatan? Ini memang kesempatan berharga baginya juga Taeyeon. Karena kelima manusia tampan –baginya- akan berkunjung ke Indonesia untuk mengadakan konser dengan para artis dari managemen mereka itu.

“Aku tetap nggak bisa, Taeyeon.”

“Kenapa, Gwe? SHINee akan kesini, Gwe. Apa kau tak ingin menontonnya?” Taeyeon masih memandang Gwiboon penuh dengan tanda tanya.

“Taeyeon sayang. Aku berangkat tanggal 22 September. Aku tak mungkin sempat menonton acara ini.” Gwiboon berkata lirih seolah butiran Kristal akan jatuh.

Kesempatan untuknya ke negeri impiannya memang di depan mata, di saat orang-orang yang dikagumi justru datang ke negaranya. Apakah itu menyedihkan atau terlihat membahagiakan?

“Kau serius, Gwe? Bukannya kau berangkat tanggal 23?”

“Iya. Tapi mendadak dimajukan ke tanggal 22. Dan lagi aku wisuda tanggal segitu, honey.

Taeyeon memeluk erat tubuh yang terlihat rapuh ini. “It’s okay, darling. Ini bukan kesempatanmu untuk bertemu mereka. Setidaknya impianmu ke negeri itu menjadi kenyataan kan? Mungkin saja, disana nanti kau bisa bertemu dengan mereka setiap hari, mungkin.”

“I hope.”

Ngungg.. Ngg.. Nguungg..

Taeyeon menarik tangan Gwiboon ke balkon dan menatap langit yang nampak begitu cerah. Warna biru yang lembut dan menceriakan hati.

“Gwe! Look! Benda itu akan membawamu kesana. Ke negeri impianmu.”

Gwiboon merangkul Taeyeon. “Yes. Sepertinya aku harus berterimakasih padanya.”

“Hahaha..”

***

Tak ada yang lebih menyenangkan ketika harapan menjadi kenyataan. Tapi tak ada hal yang lebih mengecewakan saat tak bisa bertemu dengan orang yang dikagumi dikala mereka mengunjungi negaramu.

Yeah. Aku sedih. Aku tak membayangkan apa yang diakatakan Taeyeon benar adanya. Bahwa aku bisa bertemu mereka setiap hari. Sedangkan mereka pasti sangat sibuk. Konser sana sini.

Aku sudah bersabar untuk membuat harapanku ke negeri itu menjadi kenyataan. Berarti aku juga harus bersabar, agar bertemu mereka menjadi kenyataan.

***

                “Gwiboon! Selamat!” Taeyeon memeluk sahabatnya yang kini terlihat cantik dengan baju kebaya yang tertutup toga kebesaran itu.
               
“Makasih, adik kecilku. Tahun depan giliran kamu yang memakai toga ini.”

“Amin.”

“Gwiboon. Selamat!” Beberapa teman Gwiboon memeluk dan mencium pipinya, memberikan selamat.

Entah, kapan lagi ia akan bertemu dengan teman-temannya ini. Teman susah dan senang selama empat tahun.

“Gwiboon. Kau terlihat tak seperti orang Korea. Matamu terlihat belo.”

“Yah! Aku hanya keturunan Korea. Tapi sepenuhnya aku asli Indonesia.”

“Tapi.. Selamat. Kau keterima beasiswa design di Korea itu. Akhirnya kau bisa ke kampung halamanmu ya?”

“Haha. Makasih. Kesana adalah impianku. Harapanku.”

“Gwe.. Kapan kau akan berangkat?” Yuri, teman terdekat Gwiboon, memandangnya penuh tanda tanya.

“Malam ini.”

Beberapa temannya melongo ketika mendengar perkataan Gwiboon. “Berarti kau tak ikut acara penutupan ntar malam?”

Gwiboon hanya menggelengkan kepalanya dengan lemas. “By the way, aku senang kita seangkatan lulus semua. Tanpa terkecuali. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada ini kan?”

Setelah Gwiboon berfoto dan berbicara dengan teman-temannya, ia berjalan kearah Taeyeon juga orang tua dan kedua kakak lelakinya.

“Mereka pasti sedih ya, Gwe! Aku tak bisa membayangkan setahun yang akan datang.”

“Setahun yang akan datang, kau akan memakai toga ini dan menemaniku di negeri impian kita. Ingat janjimu, anak kecil.”

“Haha. Yeah, I remember.”

Gwiboon membaringkan tubuhnya ke kasur. Ia terlihat lelah. Karena seharian tadi ia hanya berdiri menunggu gilirannya untuk maju ke atas panggung diantara ribuan mahasiswa yang juga telah lulus.

“Barang-barangmu tak ada yang terlupa, Gwe? Dua jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta.” Taeyeon terlihat sibuk meneliti barang-barang yang akan dibawa Gwiboon, karena ia tak ingin ada barang yang tertinggal akibat ulah gadis ceroboh ini.

“Gwiboon! Kau tak ingin membawa ini?” Taeyeon melambaikan komik Detective Conan, komik kesukaan Gwiboon.

“…”

“Gwiboon! Kau..”

“…”

Seolah tahu tak ada yang menjawab pertanyaannya, Taeyeon segera menatap Gwiboon yang ternyata sudah tertidur dengan pulas.

***

Impian ke negeri itu semakin dekat. Sangat dekat. Karena dalam hitungan jam aku akan kesana. Bersama benda itu. Benda besar yang nampak kecil jika terlihat dari bawah sini.

Aku membayangkan, mereka yang kukagumi sedang bernyanyi dan melakukan gerakan sesuai irama lagu mereka.

Sedang tertawa. Sedang bahagia. Sedang kelelakan. Dunno.

***

Taeyeon, sahabat kecil Gwiboon, celingak celinguk melihat pemandangan di sekitar airport. Sesungguhnya ia bosan. Tapi tiba-tiba ia membelalakan matanya ketika beberapa orang yang memakai kaos soft pink yang bagian belakangnya tertulis, “STAFF”. Berjalan kearah mereka.

Dengan cepat Taeyeon menyenggol lengan Gwiboon. Taeyeon memang ikut mengantarkan Gwiboon ke negeri impian mereka, Korea. Awalnya Gwiboon tak mengijinkannya ikut. Tapi Taeyeon ngambek dan berakibat jika Gwiboon menuruti keinginannya. Lagipula Gwiboon memang masih ingin berlama-lama dengan Taeyeon sebelum ia lepas landas ke Korea.

Gwiboon menoleh kearah Taeyeon seolah bertanya, ‘Ada apa?’. Dan Taeyeon menunjuk kearah orang-orang yang berpakaian soft pink itu dengan wajahnya. Kini bukan hanya Taeyeon yang tercengang, karena Gwiboon juga melakukan hal yang sama.

Dengan gerakan cepat, Taeyeon membuka akun twitternya melalui iPad untuk mencari info tentang jadwal mereka akan balik ke Korea.

“Gwe! Coba lihat tiketmu.”

“Heh? Ada apa?”

“Kau berangkat menggunakan pesawat apa?” Tanya Taeyeon tak sabar.

Gwiboon membuka tasnya dan mengeluarkan tiket. “Ngg. GA 878. Pukul 23.20. Why?”

“Are you serious, darling?”

“Yeah! I’m serious. But why?”

Taeyeon memperlihatkan iPad-nya ke Gwiboon. “Look!”

Gwiboon memandang Taeyeon tak percaya. Kini mereka saling berpandangan. Kemudian berpelukan. Butiran Kristal bening membasahi wajah mereka. Terharu, mungkin?

“You’re so lucky, darling.”

“I hope. This real.”

Perbuatan mereka justru membuat orang-orang disekitar mereka heran. Kakak kedua Gwiboon, Minhwa. Berjalan kearah mereka.

“Kalian ini, benar-benar sahabat, ya? Sampai terlalu sedih begini.”

Gwiboon dan Taeyeon memandang Minhwan seraya menggelengkan kepala mereka. “Ini lebih dari itu, Kak.” Ujar Taeyeon semangat.

“Yayaya. Terserah kalian saja.”

                ***
               
Apa ini nyata? Apa ini bukan mimpi?

Aku kaget saat Taeyeon memberitahukanku, bahwa pesawat yang aku tumpangi itu akan membawa artis SM, yang artinya akan membawa SHINee juga. Juga dia.

***

Waktu menunjukkan pukul 23.00. Dan Gwiboon masih berada di luar bersama dengan keluarganya dan Taeyeon.

Tiba-tiba airport mulai ramai, ada beberapa petugas keamanan. Dan juga beberapa orang membawa poster ataupun kata-kata. Sepertinya para artis SM, akan tiba.

“Kau adalah gadis yang beruntung, Gwe!” bisik Taeyeon saat mereka saling berpelukan.

Beberapa artis SM sudah tiba dan segera check in. Gwiboon dan Taeyeon dapat melihat mereka yang berjalan terburu-buru. Mungkin kelelahan dan tak ingin diganggu, sehingga mereka berjalan cepat.

“Sampaikan salamku buat Minho, jika kau bertemu dengannya. Bilang padanya bahwa aku mengaguminya lebih dari yang ia tahu.” Bisik Taeyeon ketika Gwiboon akan masuk. Gwiboon hanya menganggukan kepalanya.

“Namamu seperti leader SNSD.” Ujar Gwiboon ketika mulai melangkah.

“Sudah lama. Kau kemana saja?”

“Maaf. Selama ini mataku selalu memandang mereka, terutama orang itu.” Ia melangkahkah kakinya menuju ruang check in. Seraya melambaikan tangannya kearah orang tuanya, kedua kakaknya, dan Taeyeon.

***

Seumur-umur, aku tak pernah membayangkan jika kisahku ini nyata. Jika aku bisa satu pesawat dengan para artis SM, terutama SHINee. Dan juga dia.

Hei benda besar! Kini aku menaikimu, bawa aku ke negera itu bersama mereka yang kukagumi dan dia yang kusayangi.

***

“Fly high, so fly high, so fly high! Go! To the sky!
Fly high, so fly high, so fly high! Go! To the sky!...”

Gwiboon melihat tiketnya dan mencocokkan kursi yang akan diduduki sama dengan nomer kursi yang tertera di bagasi. Kemudian ia memasuki tas ranselnya ke dalam bagai dan duduk. Beruntunglah ia, karena ia duduk di dekat jendela, sehingga ia bisa melihat pemandangan malam hari dari atas.

Yah hyung.. blablabla..”

Gwiboon terlonjak kaget saat ia mendengar suara cempreng yang mengusik lamunannya. Ia menoleh kearah keributan tersebut.

Sesaat matanya tak berkedip, ia terlihat shock. Karena didepannya kini adalah wajah-wajah yang sangat familiar baginya, wajah-wajah yang sering ia gambar di sketchbook-nya, wajah-wajah yang memenuhi harinya.

Seseorang bermata sipit bak bulat sabit tersenyum ramah pada Gwiboon, memperlihatkan giginya yang seperti kelinci.

“Annyeong..” sapanya ragu. Karena ia melihat ekspresi Gwiboon yang terlihat aneh.

Seakan tersadar dari lamunannya, Gwiboon segera menjawab perkataannya. “Annyeong haseyo..”

Lee Jinki, atau yang biasa disapa Onew. Cowok bermata sipit itu terlihat senang ketika Gwiboon menjawab sapaannya. Kemudian ia berbicara dengan Gwiboon. Yang sukses membuat Gwiboon melongo tak mengerti.

“I’m sorry. But, I can’t speak Korean language.” Jawab Gwiboon sekenanya.

“I'm sorry. I think you can speak Korean. Because your face like a Korean.”

“It’s okay.” Lagi-lagi Gwiboon menjawabnya dengan gugup.

“Ah Key. Lihatlah! Dia mirip denganmu.” Ujar Onew, menyenggol lengan Key yang duduk disebelahnya dan sedang mengambil iPod dari tasnya.

Key, alias Kim Kibum yang membuyarkan segala lamunannya dengan suara cemprengnya tadi. Menoleh kearah Gwiboon. Ia memperhatikan Gwiboon dengan sesaksama.

“Kau benar, hyung. Wajah tirusnya, matanya, dan mulutnya mirip denganku.” Ia mengulurkan tangannya kearah Gwiboon. “I’m Key. And you?”

“I’m Gwiboon.”

“Kau orang Korea? Benar?”

Gwiboon hanya menggeleng pelan. “Bukan. Saya orang Indonesia.”

“Tapi wajahmu seperti orang Korea. Hmm.. sepertiku.”

“Betul, kau orang Korea kan?” Kini Onew dan Key memandang Gwiboon seolah meminta jawaban yang jujur.

“Aku hanya keturunan Korea. Omma-ku orang Korea, dan ia bermarga Lee. Namun sayang, ketika aku masih kecil, ia sudah meninggal. Jadi ini kali pertama aku ke Korea. Sebelumnya aku tak pernah ke Negara itu selain kedua kakakku. Dan itu ketika Omma masih hidup.”

“Aku minta maaf, malah membuatmu jadi bersedih.” Onew mengelus pundak Gwiboon pelan.

Dan itu sukses membuat wajah Gwiboon bersemu merah dan memberikan debaran luar biasa dihatinya. Yeah! Karena ia mengagumi Onew lebih dari seorang idola, boleh dibilang ia menyukai Onew. Menyukai senyum manis, suara merdu, gigi kelinci juga kelucuannya.

Tapi ia  cukup sadar diri, memilikinya adalah mustahil. Bisa sedekat ini dengannya adalah hal luar biasa baginya.

“Ah! Jika ada waktu luang, kau mau berjalan-jalan bersama kami?” Tanya Key dengan wajahnya yang teramat cantik itu. Perlahan, Gwiboon menganggukkan kepalanya.

“Yah.. Key hyung.. Ternyata kau punya sodara di Indonesia? Mengapa kau tak bilang pada kami?” Tanya Taemin dengan suara yang polos dan menggemaskan itu.

Seketika beberapa orang yang duduk di dekat mereka menoleh kearah Key, Onew dan Gwiboon. Termasuk Jonghyun, Kyuhyun, Yesung, Changmin, Suho, dan lainnya.

“Aku melihat ada 2 Key disini. Yang satu lelaki yang satu perempuan.” Ujar Kyuhyun dengan smir-nya yang terkenal itu.

Membuat mereka semua tertawa.

Bolehkah jika ini semua disebut keberuntungan? Gwiboon, gadis yang memiliki hobi aneh. Melihat pesawat, seolah suara pesawat merupakan radar baginya itu melihat ke langit. Akhirnya bisa ke Negara impiannya, bertemu dengan SHINee dan dia.

***

Tak ada yang lebih bahagia dari ini kan? Apa kau masih merasa kisah ini fiksi? Sayangnya, kisah ini nyata. Haruskah aku tekankan lagi? KISAH INI NYATA. Yeah! Nyata.

Tak ada yang lebih membahagiakan dari tanggal 22 September 2012 kan? Ah! Itu bagiku, sih. Hari ini aku wisuda, berangkat ke Negara impianku, dan bertemu dengan orang-orang yang menghiasi hariku.

Bukankah ini menyenangkan? Bisa melihat mereka sedekat ini? Tak ada pemisah seperti ketika menonton konser. Bahkan ketika tangan besarnya menyentuh pundakku. Bolehkah aku melayang?

“Aku rasa kau beruntung.” Bisik Key yang memajukan kepalanya kearahku. Membuatku juga Onew menatapnya heran. “Seharusnya kau berada di pesawat satunya, karena pesawat ini penuh dengan para artis SM dan staff.”

“Aku rasa mereka megira kau sebagai staff atau bagian dari SM? Karena wajahmu mirip orang Korea. Itu hanya kemungkinanku saja.” Ujar Onew seraya memperlihatkan senyum manisnya itu. Yang selalu sukses membuatku diam seribu bahasa.

Aku berdiri dari dudukku dan mengambil sketchbook yang aku taruh di dalam tas. Dan segera memberikannya pada Onew dan Key. Mereka segera membuka lembaran itu satu persatu.

Terpancar jelas jika mereka kagum dengan gambaranku ini. Bolehkan ake merasa bahagia?

“Apa ini kau yang gambar?” Tanya Key tak percaya.

“Yeah! Aku suka gambar. Sangat suka. Dan aku harap kalian suka dengan gambaranku. Karena semua itu memang ingin aku berikan ke kalian. Makanya aku selalu membawanya kemana kaki melangkah. Karena aku berharap bisa bertemu kalian. Dan ternyata, harapanku nyata dan aku bisa bertemu kalian saat ini. Aku harus berterimakasih pada-Nya. Juga pesawat ini.”

“Kami akan menyimpannya. Kami sangat berterimakasih padamu.” Onew memelukku sesaat.

Boleh aku melayang untuk kedua kalinya? Aku benar-benar bahagia. Dia seseorang yang kagumi (dan cintai) itu memelukku.

Oh God! Thanks.

Aku bercerita seperti ini. Karena aku ingin kau mengetahui tentang kisahku ini.

Bukan. Aku bukan pamer padamu. Aku hanya ingin menyampaikan kisah bahagiaku. Itu saja.

Aku SHAWOL.. Apakah kau juga? Apa kau bahagia mendengar kisahku ini? Kuharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan.

***

NB: Sepertinya aku harus memberitahukan kisah di pesawat ini pada Taeyeon, sahabatku. Dan aku juga harus bilang padanya. Jika Minho tak ikut ke Jakarta. Akankah bocah itu bersedih? Tapi suatu saat jika ia beneran menyusulku ke Negara ini, aku berjanji akan mengajak gadis imut itu untuk menemui mereka. I promise.

F I N

No comments:

Post a Comment