Title : The
Plane
Author : d i a
Cast : Gweboon?
Taeyeon? Uhm.. mending dibaca sampai ending.
Genre : Akan
terlihat seiring berjalannya waktu (sesungguhnya akupun tak tahu)
Wordcount : 4.925 words
Backsound : Beneran
SHAWOL? Berarti tau donk ya.. backsoundnya lagu apa aja?
Length : One shoot
Disclaim : SHINee bukan punya saya, tapi
DIA, orangtua mereka juga SHAWOL. Tapi cerita ini murni dari kepala saya
Warning : Dimohon membacanya baik-baik.
Ini bukan kisah sedih. Juga bukan horror.
Tapi saya harap, ketika kalian membacanya. Kalian bisa mengerti apa yang
rasakan ketika saya rasakan ketika saya menulis cerita ini. Sesungguhnya kisah
ini terlalu lama. Tapi saya baru ada kesempatan mem-publish-nya sekarang. Maaf. Ketika kalian menganggap ini absurd,
it’s okay. Tetapi selamat menikmati cerita inilah ya..
Ngung..
Ngg.. Ngung..
Lagi. Aku mendengar sebuah suara
yang sudah tak asing bagiku. Suara yang selalu
bisa membuatku menoleh keatas dan memandangnya hingga ia tak tampak lagi. Menghilangtertutupawan.
Entah,
aku tak mengerti mengapa belakangan ini aku selalu senang mendengar suara itu
dan memandangnya. Aku tahu, jika perbuatan itu amatlah membosankan. Seperti tak
ada sesuatu hal lain yang dapat dikerjakan selain menatap benda besar yang
tampak kecil di atas sana.
***
“Melihat pesawat
lagi?”
Perempuan
dengan rambut panjang sebahu dan diikat hanya diam. Tak mengabaikan perkaatan
temannya. Ia hanya menatap ke langit. Melihat benda besar itu tanpa bergumam
apapun. Ia hanya tersenyum tipis.
Perlahan benda
besar itu menghilang tertutup awan dan pergi entah kemana. Sesaat perempuan itu
menghela nafas kecewa. Mukanya yang tadi cerah mendadak muram. Ia memajukan
bibirnya dengan malas.
“Gwiboon!”
Seolah tak
mendengar temannya yang memanggil namanya, ia hanya berjalan lunglai.
Meninggalkan seseorang yang menatapnya heran, kemudian berjalan cepat
menghampirinya.
“Yah! Gwiboon.” Teriaknya seraya menepuk
pundak Gwiboon pelan.
Dengan cepat ia
menoleh dan menatap temannya itu dengan heran, “Ka.. Kau memanggilku?” Tanyanya
gugup.
“Jadi.. Kau
tidak mendengar jika aku memanggilmu sedari tadi. Dan berjalan sendiri tanpa
menungguku? Teman macam kau!!” Sungut temannya dengan raut muka yang masam.
Gwiboon diam
sesaat. Mengingat hal yang sempat yang dilakukannya tadi. Kemudian ia memeluk
tubuh sahabatnya itu ketika ia mengingat apa yang telah dilakukannya tadi. Yang
membuat sahabatnya ini marah padanya.
“Taeyeon! Aku
minta maaf.” Ucapnya bersalah, masih memeluk sahabatnya itu dengan erat. “Aku
sungguh minta maaf.”
Taeyeon
melepaskan pelukan Gwiboon yang sesaat membuat tubuhnya susah bernapas. “Yeah!
Aku mengerti. Aku memaafkanmu.” Ia tersenyum tulus pada Gwiboon. “Lagipula, aku
tak benar-benar marah padamu.”
Mendengar
perkataan Taeyeon, membuat Gwiboon tersenyum sumringah. Dan menarik tangan
Taeyeon ke dalam sebuah bangunan yang biasa disebut café. “Aku akan
menraktirmu.” Ucapnya dengan semangat.
“Gwiboon..”
Gwiboon yang
mendengar namanya dipanggil, menatap Taeyeon seolah menunggu perkataannya.
Sendok yang ia pakai untuk menyuapi es krim ke mulutnya belum ia lepaskan,
membuat wajah manis itu terlihat lucu.
Dua menit
berlalu, Taeyeon masih tak melanjutkan kata-katanya. Malah asyik memasukkan es
krim itu ke mulutnya. Gwiboon hanya melongo memandang wajah imut di depannya
ini. Kemudian ia memainkan bibir mungilnya seolah sebal dengan tingkah laku
sahabatnya ini.
“Yah! Taeyeon!
Kini kau yang membuatku sebal.” Ia menatap Taeyeon dengan muka yang ditekuk,
sedangkan Taeyeon memandangnya dengan wajah yang kaget dan tak berdosa.
“Mengapa wajahmu malah menunjukkan seolah kau tak ingin berbicara apa-apa.”
Ujarnya lagi.
“Aku tak
mengerti apa yang kau bicarakan, Gwiboon!” Ia masih menatap Gwiboon dengan muka
polosnya.
Gwiboon
terlihat gemas menatap wajah di depannya ini. “Tadi kau memanggilku ada apa?
Kau menggantungkan ucapanmu dan membiarkanku menunggunya, begitu?”
Taeyeon
mengingat sebentar apa yang akan ia katakana pada Gwiboon. “Entahlah, Gwe! Aku
lupa.” Ucapnya seraya melanjutkan memasukkan es krim ke mulutnya.
“Arggh!” Gwiboon hanya bergumam dengan kesal.
***
Aku tak pernah bosan mendengar suara itu.
Seperti sebuah alunan musik yang mengiringi pementasan awan, yang menyuguhkan
keindahan di balik lukisan yang dibuat oleh-Nya. Benda itu hanya penghias
diantara ribuan awan yang beranjak ketika ia bosan.
Suara itu. Benda itu. Adalah sesuatu yang
special buatku. Sesuatu yang membuatku berharap dan terus berharap. Kelak ia
bisa membawaku ke tempat itu. Ke suatu tempat yang ku inginkan.
***
“Lihatlah,
banyak bintang betaburan. Bulannya juga indah. Aku senang jika pemandangan
malam seperti ini.”
Sekilas Gwiboon
menatap sahabatnya itu seolah tersenyum. Gadis mungil di sampingnya ini, selalu
bisa mengisi hari-harinya yang membosankan. Usianya dan Taeyeon berbeda 2
tahun. Tapi itu tak membuat Taeyeon memanggilnya kakak, melainkan namanya
langsung.
Awalnya ia
sempat sebal dengan Taeyeon. Walau bagaimanapun, ia lebih tua dibanding gadis
mungil ini. Tapi lama kelamaan, ia cukup terbiasa. Ia menganggap Taeyeon
seperti adiknya sendiri, karena ia adalah anak tunggal.
Ia mengenal
Taeyeon tak sengaja, saat ia dengan terpaksa mengurus anak kecil ini ketika ia
pingsan saat ada ospek Mahasiswa Baru. Sebenarnya Gwiboon masih ingin memarahi
para mahasiswa baru tersebut, tapi karena para mahasiswa yang menjaga ruang
kesehatan sedikit dan (mungkin) telah habis, sehingga ia harus menjaga anak ini
(dengan terpaksa).
Entahlah, tapi
cukup banyak mahasiswa yang pingsan saat mereka sedang dimarahi. Sehingga
membuat para mahasiswa yang bertugas menjaga ruang kesehatan kerepotan.
Jadilah, Gwiboon ikut berpatisipasi.
Ngung.. Ngg... Ngung..
Suara itu
terdengar lagi, dan dengan seketika Gwiboon menatap keatas. Melepas
pandangannya yang tadi memandangi Taeyeon dengan seksama.
Benda itu kini
Nampak lebih indah. Karena ia mengeluarkan lampu yang berwarna merah, sebagai
tanda jika ia sedang terbang bebas ke angkasa. Meninggalkan hiruk pikuk
kepadatan kota. Kerlap kerlip lampunya seperti bintang yang bersinar.
Taeyeon menatap
Gwiboon dengan senyum simpul yang terpancar di bibir plumnya. Sesaat ia
menggeleng-gelengkan kepalanya, melihat tingkah laku sahabatnya ini.
“Kau tak pernah
lelah memandangi benda itu? Suaranya seperti radar yang mengharuskanmu menatap
keatas.”
Gwiboon balas
menatap Taeyeon dan tersenyum simpul. “Karena benda itu yang akan membawaku ke
sana. Ke negeri impianku. Dan.. Bertemu dengannya.”
“Haha.. Kau tau
Gwe! Kau lucu! Kau aneh!” Taeyeon hanya tertawa mendengar perkata sahabatnya
itu.
“Kau yang aneh! Tertawa tanpa sebab yang jelas!”
Taeyeon
menghentikan tawanya dan menyentuh pundak temannya itu dengan pelan. “Asal kau
tahu saja, Gwe. Kau bisa ke negeri itu tanpa benda yang suaranya seperti
gumaman tak jelas. Kau bisa menaiki kapal atau bersepeda menuju ke negeri itu.”
“Haha..” Kini
giliran Gwiboon yang tertawa lepas. “Kau gila! Berapa hari aku sampai itu jika
aku naik kapal? Dan benda itu bisa membawaku kesana selama 7 jam perjalanan.”
Ujarnya saat tawanya terhenti kemudian menatap wajah di sampingnya. “Kau itu..
Polos atau bodoh?!”
Taeyeon yang
mendengar pertanyaan Gwiboon hanya memanyunkan mulutnya dengan kesal. Ia selalu
berkata sesuatu yang menyebalkan disaat yang tepat. Dan itu selalu sukses
membuat Gwiboon mengejeknya.
***
Aku melihat benda itu bukan karena aku tak
pernah menaikinya. Aku pernah menaiki benda itu beberapa kali, saat libur tiba.
Saat aku harus balik ke kampung halamanku. Tapi benda itu belum mengajakku
untuk ke tempat itu, negeri impianku.
***
“Jiool sudo eopseo beoril sudo eopseo
ddo harureul beotigo
Ni anae nan gadhyeo
nae maeumman jichyeo, no, no, no….”
Taeyeon
melepaskan headphone yang masih bertengger di telinga seseorang. Melepaskannya
dengan paksa. Membuat orang tersebut, memgerakkan tubuhnya yang tadi
menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut. Menatap wajah Taeyeon dengan malas.
“Sampai kapan kau akan terus menangis?”
Gwibbon hanya
diam tak menjawab pertanyaan Taeyeon. Mata kucingnya malah menatap sebuah
pigura foto yang dipajang rapi di atas meja belajarnya. Terlihat lima orang
pemuda dengan senyum manis mereka, memperlihatkan gigi putih mereka yang rapi.
Juga keakraban yang mereka miliki.
Kemudian ia
membenamkan wajahnya dan juga tangannya diantara kedua kaki mulusnya. Taeyeon
mengelus rambut ikal Gwiboon dengan sayang.
“Aku yakin
suatu saat kau bisa bertemu dengan mereka. Bukan hanya dalam mimpi dan juga
khayalanmu.” Ia memeluk tubuh Gwiboon yang kini seolah tak bertenaga.
“I hope.” Ujarnya lemas seraya
menatap wajah Taeyeon dengan muka yang memelas.
“Aku tak
mengerti, mengapa kau kini tergila-gila dengan mereka. Bahkan dulu, kau tak
suka sesuatu hal yang berhubungan dengan mereka dan semacamnya.” Tanya Taeyeon
dengan tatapan tajam seolah meminta jawaban.
“Huu.. Haa..” Gwiboon hanya menghela napas panjangnya.
“Entahlah. Mungkin aku kena karma.”
“Haha.. Kau lucu, Gwe!”
“Aku berbicara serius!”
“Yayaya.. Aku
tahu. Kau memang selalu berpikir dewasa, selalu bisa menyelesaikan masalahmu
sendiri. Tapi tidak untuk hal ini. Kau terlihat seperti anak remaja yang baru
gede.”
“Whatever! Aku tak peduli.”
“Kuharap kau
tidak mengejekku saat aku menyukai sesuatu. Yang akhirnya berakibat dengan
tingkahmu yang…” Taeyeon menatap Gwiboon sesaat. “…. Seperti ini.”
Gwiboon balas
memandang Taeyeon tajam. “Maksudmu dengan kata-kata, ‘tingkahku yang seperti
ini..’ itu apa?”
“Kau berlebihan.”
“Aku tak peduli. Yang jelas aku sudah menyukai mereka. Apa itu salah?”
“Tentu saja tidak. Aku mengerti perasaanmu. Karena aku juga ingin
menemui mereka.”
Gwiboon memukul
pelan lengan Taeyeon. “Kau mau bilang jika kau ingin bertemu dengan mereka,
haruskah berbelit-belit seperti ini? Memojokkanku terlebih dahulu, kemudian
mengakuinya? Haha.. Adik kecilku belajar menjadi dewasa rupanya.”
Gwiboon memeluk
Taeyeon. “Aku harap kita bisa ketemu mereka ya.” Ujarnya lagi. Taeyeon hanya
membalas dengan senyum. Walau ia tahu, Gwiboon tak melihat senyumnya itu.
***
Benda itu membuatku berharap lebih dan lebih.
Membuat semangatku kian membara. Mengumpulkan secercah uang hanya untuk bisa
menaiki benda itu, tanpa meminta secuil uang dari orang tua.
***
“Mereka semakin
sibuk ya. Semakin susah untuk ditemui, mungkin.” Taeyeon merebahkan dirinya di
kasur big size-nya Gwiboon seraya
melemparkan majalah yang tadi dibacanya.
Gwiboon
memandang dirinya di cermin. Menatap tajam. Mata kecingnya dengan bulu mata yang
lentik, bibir mungil bak cerry,
hidung mancung yang indah, wajah tirus yang putih. Sesaat sudut-sudut bibirnya
mengembang.
‘Apakah mungkin jika Ia menjadi …’ Gwiboon menggeleng-gelengkan kepalanya
menghilangkan suatu hal yang sempat hinggap dipikirannya.
Puk!
Sebuah benda
yang lumayan keras mendarat mulus di kepalanya kemudian terjatuh ke lantai.
Membuatnya menoleh ke belakang, ke arah seseorang yang memukulnya tadi.
“Yah! Betapa
tidak sopannya kau padaku. Ingat ya, aku lebih tua darimu. Jangan berani
padaku.” Teriaknya nyaring. Kemudian berdiri dan mengambil bantal tak bersalah
di lantai dan melemparnya kembali ke Taeyeon. Dengan gerakan lincah Taeyeon
berhasil mengambil bantal itu.
“Salahmu, Gwe!
Kau selalu tak memperhatikan setiap perkataanku.” Ia mengambil orange juice yang tak jauh dari tempat
tidur. “Aku tak peduli. Apa kau lebih tua dariku atau tidak.” Ia membaringkan
tubuhnya kembali ke kasur.
“Kau benar-benar
kurang ajar.” Gwiboon menjatuhkan dirinya tepat diatas tubuh Taeyeon yang
sedang tengkurap sambil membaca majalah.
“Auu!” Teriaknya kencang. “Sakit, tau!”
“Aku tak
peduli! Kau selalu membuatku gemas!” Ia membaringkan tubuhnya sejajar dengan
Taeyeon. “Kau membaca apa sih?” Ia menarik majalah yang sedang dibaca Taeyeon.
Gwiboon melihat
artikel yang tertulis disana dan melihat wajah-wajah yang familiar baginya.
“Mereka selalu tampan.” Ujarnya seraya menyunggingkan senyum manisnya itu.
“Tapi susah diraih.” Lirihnya pelan.
Taeyeon memeluk
pundak sahabatnya itu. “Aku muak dengan suasana yang mendadak sedih gini.
Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar saja?” Ia menarik tangan Gwiboon dengan
paksa. “Cepat ganti pakaianmu.”
***
Tak pernah lelah mendengar suara itu. Tak
pernah bosan memandang wajah itu. Karenanya, membuatku untuk tak lelah menatap
ke langit mencari benda besar itu yang terlihat kecil dari bawah sini.
***
“Aku heran mengapa mereka suka
dengan cowok-cowok yang…”
“Aku juga tak habis pikir, apa
habisnya sih…”
“Aku rasa mereka hanya melihat
wajah…”
Gwiboon
mendengus kesal mendengar percakapan para mahasiswa di jurusannya itu. Hampir
saja ia memukul meja, jika Taeyeon dengan cepat mengajaknya pergi dari sana.
Dan menuju sebuah taman.
Gwiboon memang
bukan mahasiswa kampus ini lagi. Karena ia sudah dinyatakan lulus tepat sebulan
yang lalu. Dan kini ia hanya menemani Taeyeon yang sedang mencari data tugasnya
di perpustakaan.
Dan ia malah
mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan saat dikantin tadi. Suara-suara
melengking yang berbicara dengan asal. Membuat emosinya naik.
“Gwe! Kau gila.”
Gwiboon hanya
diam. Ia masih marah dengan perkataan orang-orang tadi. Ia menatap penuh
kebencian kearah bunga-bunga yang tak bersalah.
“Aku tahu kau
marah, aku tahu kau kesal. Sangat tahu! Tapi bukan berarti kau harus memukul
meja.”
Gwiboon
memandang wajah Taeyeon. “Kau tau kan yang mereka maksud tadi? Walau mereka tak
menyebutkan secara langsung siapa yang mereka maksud. Tapi aku berpikiran jika
mereka berlima adalah yang dimaksud dengan sekumpulan perempuan-perempuan
tukang gossip itu.”
Taeyeon memeluk
pundak Gwiboon mencoba menenangkan gadis yang penuh emosi ini. “Itu hanya
pikiran, Gwe! Kau boleh marah, tadi tidak berlebihan. Ingatlah Gwe, kau dan
mereka bukan siapa-siapa. Kau memang mengenal mereka, tapi apakah mereka
mengenalmu?”
Perempuan
berpipi tirus ini hanya menundukkan kepalanya. Menahan butiran Kristal yang
mungkin saja akan jatuh sewaktu-waktu.
“Aku tak
mengerti. Hatiku terlalu sakit, sedih, jika mendengar ada yang membicarakan
mereka. Aku tahu mereka bukan milikku, bukan siapa-siapaku. Terutama dia. Tapi,
apa salah jika aku berharap?” Kini ia memandang Taeyeon seolah meminta jawaban.
“Aku tak
mengerti, mengapa untuk urusan seperti ini. Kau benar-benar terlihat childish, kau tidak seperti Gwiboon yang
kukenal.” Ia menghentikkan perkataannya, melempar pandangannya kearah beberapa
mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas di bawah pohon yang rindang.
“Kau tak salah.
Tidak ada yang salah dengan sebuah harapan. Hanya saja, kita tidak terlalu
larut kedalam sebuah harapan yang akan membuat kita akan sedih jika harapan itu
hanyalah bayangan semu. Kau boleh berharap, asal kaupun berusaha mengejar
harapanmu itu. Agar tak menjadi bayangan semu.”
Ngung.. Ngg.. Ngung..
Dengan cepat,
Gwiboon mendongakkan kepalanya keatas mencari sumber suara itu. Menatapnya
dalam. “Kapan ia membawaku kesana?” Tanyanya lirih.
“Suatu saat
nanti. Pasti.” Jawab Taeyeon yang mendengar pertanyaan Gwiboon yang
diucapkannya dengan pelan.
“I hope. Benda besar itu bisa
membawaku kesana.”
***
“Saranghaeyo geudaemaneul jeo
haneulmankeum
Jungmal geudaeneun naega saneun eeyu.in geolyo
Geudaereul aju mani geudael michidorok anajugo
shipeo
Ajik mani ppareungeojyo geureongeojyo…”
Taeyeon
mengecilkan volume dari radio yang suaranya menggema kesuluruh penjuru ruangan.
Kemudian duduk disamping Gwiboon yang sedang menggambar wajah mereka. Salah
satu kebiasaan Gwiboon selain menatap ke langit dan mencari benda besar itu.
“Kau janji memberiku salah satu gambar mereka yang sudah kau lukis.”
“Apa aku
menjanjikan seperti itu?” Gwiboon menyelupkan kuas kedalam gelas yang berisi
sedikit air kemudian menorehkannya di atas sketchbook
yang telah digambarnya tadi.
“Hmm.. Sebenarnya kau tidak mengiyakannya.”
“Berarti aku tidak berjanji.”
“Argh! Aku
kesal.” Taeyeon membenamkan wajahnya diatas bantal. Kemudian menyenderkan
tubuhnya ke tembok. “Aku heran. Aku ini jurusan desain sepertimu, tapi kenapa
aku tidak bisa menggambar wajah yang terlihat mirip dengan orang yang kita
gambar.”
“Hahaha..” Gwiboon menanggapinya hanya dengan tertawa.
“Yah! Mengapa kau hanya tertawa?” Taeyeon melirik tajam ke arah Gwiboon.
Gwiboon
mengambil remote radionya dan
mengganti lagu yang tadi terdengar menggema keseluruh ruanga dengan lagu yang
beberapa hari ini sering diputarnya.
“I don’t know why I can’t move on
neega dashi doraol gut gata
hokshi hoohwijoongilgga
nae mamdo oomkigil soo ubsuh..”
“Gambaranmu
memang tak sebaik gambaranku, tapi idemu selalu lebih cemerlang dari ideku.
Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mengapa kau harus
kesal, hanya karena gambaranmu tak bagus, hah?”
Seketika Taeyeon
memeluk Gwiboon yang sedang mengerikan gambannya yang basah. Gambaran hitam
putih itu kini tampak lebih indah dengan warna-warni dari pensil warna yang
telah ia torehkan tadi.
“Kau tahu, Gwe! Aku senang mendengar jawabanmu tadi. Bijak.”
“Terimakasih. Aku tahu kau akan berkata seperti itu.”
“Bukan Karena kata-katanya. Tapi karena Gwiboon-ku telah kembali.”
Gwiboon yang
mengikat rambut panjang ikalnya keatas seketika menoleh cepat kearah Taeyeon. “What do you mean?”
“Saat-saat kau
sedih karena mereka berlima.” Tunjuknya kearah sketchbook yang memperlihatkan wajah mereka berlima. “Kau terlihat
berbeda, Gwe. Terlalu childish. Dan
aku tak melihat Gwiboon-ku yang bijaksana. Tapi kini kau kembali.” Ia bersorak
senang.
“Kau aneh. Kau
tahu Taeyeon, kau adalah sahabatku yang paling aneh. Aku belum pernah menemukan
orang-orang yang seaneh dirimu. Hahaha..” Gwiboon melanjutkan gambarnya.
“Sudah berapa
banyak gambaran yang kau buat? Apa ini nanti akan kau berikan pada mereka?
Terutama dia?”
“Uhm..
Kira-kira 50 lebih. Entahlah. Maybe. Jika Tuhan mempertemukanku dengan
mereka, aku akan memberikan ini. Tapi aku harapkan aku mendapat kesempatan itu.
Kesempatan dengan mereka.”
Gwiboon
memandang wajah mereka berlima dengan senyum manis yang mereka dari bibir cherry-nya.
***
Suaranya? Bisa membuatku larut kedalam nada
yang mereka hasilkan. Entah itu lagu sedih atau riang. Wajahnya? Bisa membuatku
tertawa lepas saat mereka menunjukkan ekspresi yang tak biasa. Tetapi kadang
membuatku tersenyum kala melihat mereka tertawa lepas bahkan tersenyum manis.
Apa aku sudah gila? Entahlah. Aku tak tahu.
Yang aku tahu. Aku ingin benda itu membawaku kesana. Hanya itu.
***
“Kau tidak bohong kan, Gwe?” Teriak Taeyeon dengan suara yang begitu
nyaring.
“I’m serious, honey.”
“Aku tak bisa membayangkan hariku tanpa sahabat sepertimu, Gwe!”
“Kau kini
semester 7. Satu tahun lagi kau lulus. Kau bisa menyusulku kesana. Don’t cry, honey.”
Gwiboon memeluk
pundak sahabatnya dengan sayang. Menenangkan gadis mungil itu. Sesungguhnya
iapun sedih, karena ia harus berpisah dengan sahabatnya ini. Tapi mau gimana
lagi, dia juga tak mau kehilangan kesempatan berharga ini.
Taeyeon melepas
pelukan Gwiboon dan memandangnya dengan senyum yang mereka di bibir plum yang
mungil itu.
“Sejujurnya aku
sedih, Gwe. Tapi aku juga bahagia. Karena impianmu telah terkabul. Tak ada
kabar yang lebih menyenangkan daripada itu kan?”
“Dan aku harus pastikan. Bahwa kau juga akan ke tempat itu. Menyusulku.”
“I promise.”
Mereka saling
menautkan jari kelingking mereka untuk menyatakan janji mereka. Janji
persahabatan mereka.
“Ah!” Gwiboon
terpekik pelan seraya beranjak dari duduknya. Berjalan menuju sebuah kanvas
yang terbalut kain berwarna pearl blue.
“Aku memang tak
pernah berjanji padamu. Tapi kuharap ini bisa menjadi kenangan-kenangan untukmu
selama aku disana.”
Ia membuka kain
itu dengan perlahan. Memperlihatkan wajah-wajah yang tak asing buat Taeyeon. Kemudian
terlihat senyuman manis dari bibir mungil itu.
“Apa kau
senang, adik kecilku?” Taeyeon hanya menganggukkan kepalanya tanpa menjawab
sepatah kata pun. Ia beranjak mendekati kanvas itu.
“Aku sengaja
menggambar mereka berlima bersama kita berdua. Karena aku yakin, jika suatu
saat nanti, kita dan juga mereka akan ada dalam sebuah kertas kosong yang
kemudian berwarna menampilkan senyum kebahagiaan kita.”
“Gwe, thank you so much. Aku tak tahu, kata
apa yang harus aku ucapkan padamu selain itu.” Taeyeon memeluk erat tubuh
Gwiboon.
“Yang aku pinta,
bukan kata terimakasihmu. Tapi keberadaanmu yang selalu ada disisiku. Menjadi
sahabat yang mau menerimaku apa adanya aku.” Gwiboon membalas pelukan Taeyeon.
“Pasti.”
***
Benda itu seperti tahu doa-doa yang aku
panjatkan tiap harinya. Seminggu lagi ia akan membawaku kesana. Ke negeri
impianku.
Tapi aku tak tahu, apakah ia bisa
mempertemukanku dengan mereka. Setidaknya ia memenuhi satu permintaanku.
***
“Gwiboon!”
Gwiboon yang
sedang mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya pergi terlonjak kaget.
Dan menatap geram kearah Taeyeon.
Seolah tahu,
jika Gwiboon akan meledak. Dengan segera, Taeyeon memperlihatkan iPad yang dia
bawanya. Dan hal itu membuat Gwiboon memandang heran kearah iPad, menandakan
jika ia melupakan kemarahan yang ia tujukan ke Taeyeon.
“Lihatlah!”
“Apa itu benar?”
“Tentu saja. Billboard tentang berita ini sudah mulai bertebaran di
jalan pagi tadi.”
Gwiboon masih
melihat iPad Taeyeon yang memperlihatkan sebuah info yang di lihatnya dari
twitter.
“Tanggal 22 September?”
“Yess. Kurasa tiketnya masih
terjual deh. Apa kau membelinya. Ini kesempatan bagus, Gwe.”
Gwiboon terlihat ragu. Kemudian mengangguk. “Aku nggak melihatnya.”
“Kau bodoh! Bukankah kita ingin melihat mereka secara dekat? Inilah
kesempatannya.”
Gwiboon
memandang pigura foto yang terletak di atas meja belajarnya itu. Kesempatan?
Ini memang kesempatan berharga baginya juga Taeyeon. Karena kelima manusia
tampan –baginya- akan berkunjung ke Indonesia untuk mengadakan konser dengan
para artis dari managemen mereka itu.
“Aku tetap nggak bisa, Taeyeon.”
“Kenapa, Gwe? SHINee
akan kesini, Gwe. Apa kau tak ingin menontonnya?” Taeyeon masih memandang
Gwiboon penuh dengan tanda tanya.
“Taeyeon
sayang. Aku berangkat tanggal 22 September. Aku tak mungkin sempat menonton
acara ini.” Gwiboon berkata lirih seolah butiran Kristal akan jatuh.
Kesempatan untuknya
ke negeri impiannya memang di depan mata, di saat orang-orang yang dikagumi
justru datang ke negaranya. Apakah itu menyedihkan atau terlihat membahagiakan?
“Kau serius, Gwe? Bukannya kau berangkat tanggal 23?”
“Iya. Tapi mendadak dimajukan ke tanggal 22. Dan lagi aku wisuda tanggal
segitu, honey.
Taeyeon memeluk
erat tubuh yang terlihat rapuh ini. “It’s
okay, darling. Ini bukan kesempatanmu untuk bertemu mereka. Setidaknya
impianmu ke negeri itu menjadi kenyataan kan? Mungkin saja, disana nanti kau
bisa bertemu dengan mereka setiap hari, mungkin.”
“I hope.”
Ngungg.. Ngg.. Nguungg..
Taeyeon menarik
tangan Gwiboon ke balkon dan menatap langit yang nampak begitu cerah. Warna
biru yang lembut dan menceriakan hati.
“Gwe! Look! Benda itu akan
membawamu kesana. Ke negeri impianmu.”
Gwiboon merangkul Taeyeon. “Yes.
Sepertinya aku harus berterimakasih padanya.”
“Hahaha..”
***
Tak ada yang lebih menyenangkan ketika harapan
menjadi kenyataan. Tapi tak ada hal yang lebih mengecewakan saat tak bisa
bertemu dengan orang yang dikagumi dikala mereka mengunjungi negaramu.
Yeah. Aku sedih. Aku tak membayangkan apa yang
diakatakan Taeyeon benar adanya. Bahwa aku bisa bertemu mereka setiap hari. Sedangkan
mereka pasti sangat sibuk. Konser sana sini.
Aku sudah bersabar untuk membuat harapanku ke
negeri itu menjadi kenyataan. Berarti aku juga harus bersabar, agar bertemu
mereka menjadi kenyataan.
***
“Gwiboon!
Selamat!” Taeyeon memeluk sahabatnya yang kini terlihat cantik dengan baju
kebaya yang tertutup toga kebesaran itu.
“Makasih, adik kecilku. Tahun depan giliran kamu yang memakai toga ini.”
“Amin.”
“Gwiboon.
Selamat!” Beberapa teman Gwiboon memeluk dan mencium pipinya, memberikan
selamat.
Entah, kapan
lagi ia akan bertemu dengan teman-temannya ini. Teman susah dan senang selama
empat tahun.
“Gwiboon. Kau terlihat tak seperti orang Korea. Matamu terlihat belo.”
“Yah! Aku hanya keturunan Korea. Tapi sepenuhnya aku asli Indonesia.”
“Tapi..
Selamat. Kau keterima beasiswa design di Korea itu. Akhirnya kau bisa ke
kampung halamanmu ya?”
“Haha. Makasih. Kesana adalah impianku. Harapanku.”
“Gwe.. Kapan
kau akan berangkat?” Yuri, teman terdekat Gwiboon, memandangnya penuh tanda
tanya.
“Malam ini.”
Beberapa
temannya melongo ketika mendengar perkataan Gwiboon. “Berarti kau tak ikut
acara penutupan ntar malam?”
Gwiboon hanya
menggelengkan kepalanya dengan lemas. “By
the way, aku senang kita seangkatan lulus semua. Tanpa terkecuali. Tak ada
yang lebih menyenangkan daripada ini kan?”
Setelah Gwiboon
berfoto dan berbicara dengan teman-temannya, ia berjalan kearah Taeyeon juga
orang tua dan kedua kakak lelakinya.
“Mereka pasti sedih ya, Gwe! Aku tak bisa membayangkan setahun yang akan
datang.”
“Setahun yang
akan datang, kau akan memakai toga ini dan menemaniku di negeri impian kita.
Ingat janjimu, anak kecil.”
“Haha. Yeah, I remember.”
Gwiboon
membaringkan tubuhnya ke kasur. Ia terlihat lelah. Karena seharian tadi ia
hanya berdiri menunggu gilirannya untuk maju ke atas panggung diantara ribuan
mahasiswa yang juga telah lulus.
“Barang-barangmu
tak ada yang terlupa, Gwe? Dua jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta.”
Taeyeon terlihat sibuk meneliti barang-barang yang akan dibawa Gwiboon, karena
ia tak ingin ada barang yang tertinggal akibat ulah gadis ceroboh ini.
“Gwiboon! Kau
tak ingin membawa ini?” Taeyeon melambaikan komik Detective Conan, komik kesukaan Gwiboon.
“…”
“Gwiboon! Kau..”
“…”
Seolah tahu tak
ada yang menjawab pertanyaannya, Taeyeon segera menatap Gwiboon yang ternyata
sudah tertidur dengan pulas.
***
Impian ke
negeri itu semakin dekat. Sangat dekat. Karena dalam hitungan jam aku akan
kesana. Bersama benda itu. Benda besar yang nampak kecil jika terlihat dari
bawah sini.
Aku
membayangkan, mereka yang kukagumi sedang bernyanyi dan melakukan gerakan
sesuai irama lagu mereka.
Sedang tertawa. Sedang bahagia. Sedang kelelakan. Dunno.
***
Taeyeon,
sahabat kecil Gwiboon, celingak celinguk melihat pemandangan di sekitar airport. Sesungguhnya ia bosan. Tapi
tiba-tiba ia membelalakan matanya ketika beberapa orang yang memakai kaos soft pink yang bagian belakangnya
tertulis, “STAFF”. Berjalan kearah mereka.
Dengan cepat
Taeyeon menyenggol lengan Gwiboon. Taeyeon memang ikut mengantarkan Gwiboon ke
negeri impian mereka, Korea. Awalnya Gwiboon tak mengijinkannya ikut. Tapi
Taeyeon ngambek dan berakibat jika Gwiboon menuruti keinginannya. Lagipula
Gwiboon memang masih ingin berlama-lama dengan Taeyeon sebelum ia lepas landas
ke Korea.
Gwiboon menoleh
kearah Taeyeon seolah bertanya, ‘Ada apa?’. Dan Taeyeon menunjuk kearah
orang-orang yang berpakaian soft pink
itu dengan wajahnya. Kini bukan hanya Taeyeon yang tercengang, karena Gwiboon
juga melakukan hal yang sama.
Dengan gerakan
cepat, Taeyeon membuka akun twitternya melalui iPad untuk mencari info tentang jadwal
mereka akan balik ke Korea.
“Gwe! Coba lihat tiketmu.”
“Heh? Ada apa?”
“Kau berangkat menggunakan pesawat apa?” Tanya Taeyeon tak sabar.
Gwiboon membuka tasnya dan mengeluarkan tiket. “Ngg. GA 878. Pukul
23.20. Why?”
“Are you serious, darling?”
“Yeah! I’m serious. But why?”
Taeyeon memperlihatkan iPad-nya ke Gwiboon. “Look!”
Gwiboon
memandang Taeyeon tak percaya. Kini mereka saling berpandangan. Kemudian
berpelukan. Butiran Kristal bening membasahi wajah mereka. Terharu, mungkin?
“You’re so lucky, darling.”
“I hope. This real.”
Perbuatan
mereka justru membuat orang-orang disekitar mereka heran. Kakak kedua Gwiboon, Minhwa.
Berjalan kearah mereka.
“Kalian ini, benar-benar sahabat, ya? Sampai terlalu sedih begini.”
Gwiboon dan
Taeyeon memandang Minhwan seraya menggelengkan kepala mereka. “Ini lebih dari
itu, Kak.” Ujar Taeyeon semangat.
“Yayaya. Terserah kalian saja.”
***
Apa ini nyata? Apa ini bukan
mimpi?
Aku kaget saat Taeyeon memberitahukanku, bahwa
pesawat yang aku tumpangi itu akan membawa artis SM, yang artinya akan membawa
SHINee juga. Juga dia.
***
Waktu
menunjukkan pukul 23.00. Dan Gwiboon masih berada di luar bersama dengan
keluarganya dan Taeyeon.
Tiba-tiba airport mulai ramai, ada beberapa
petugas keamanan. Dan juga beberapa orang membawa poster ataupun kata-kata.
Sepertinya para artis SM, akan tiba.
“Kau adalah gadis yang beruntung, Gwe!” bisik Taeyeon saat mereka saling
berpelukan.
Beberapa artis
SM sudah tiba dan segera check in.
Gwiboon dan Taeyeon dapat melihat mereka yang berjalan terburu-buru. Mungkin
kelelahan dan tak ingin diganggu, sehingga mereka berjalan cepat.
“Sampaikan salamku buat Minho, jika kau bertemu
dengannya. Bilang padanya bahwa aku mengaguminya lebih dari yang ia tahu.” Bisik Taeyeon ketika Gwiboon akan masuk.
Gwiboon hanya menganggukan kepalanya.
“Namamu seperti leader SNSD.” Ujar Gwiboon ketika mulai melangkah.
“Sudah lama. Kau kemana saja?”
“Maaf. Selama
ini mataku selalu memandang mereka, terutama orang itu.” Ia melangkahkah
kakinya menuju ruang check in. Seraya
melambaikan tangannya kearah orang tuanya, kedua kakaknya, dan Taeyeon.
***
Seumur-umur, aku tak pernah membayangkan jika
kisahku ini nyata. Jika aku bisa satu pesawat dengan para artis SM, terutama
SHINee. Dan juga dia.
Hei benda besar! Kini aku menaikimu, bawa aku
ke negera itu bersama mereka yang kukagumi dan dia yang kusayangi.
***
“Fly high, so fly high, so fly
high! Go! To the sky!
Fly high, so fly high, so fly high! Go! To the
sky!...”
Gwiboon melihat
tiketnya dan mencocokkan kursi yang akan diduduki sama dengan nomer kursi yang
tertera di bagasi. Kemudian ia memasuki tas ranselnya ke dalam bagai dan duduk.
Beruntunglah ia, karena ia duduk di dekat jendela, sehingga ia bisa melihat
pemandangan malam hari dari atas.
“Yah hyung.. blablabla..”
Gwiboon
terlonjak kaget saat ia mendengar suara cempreng yang mengusik lamunannya. Ia
menoleh kearah keributan tersebut.
Sesaat matanya tak
berkedip, ia terlihat shock. Karena
didepannya kini adalah wajah-wajah yang sangat familiar baginya, wajah-wajah
yang sering ia gambar di sketchbook-nya,
wajah-wajah yang memenuhi harinya.
Seseorang
bermata sipit bak bulat sabit tersenyum ramah pada Gwiboon, memperlihatkan
giginya yang seperti kelinci.
“Annyeong..” sapanya ragu. Karena ia melihat ekspresi
Gwiboon yang terlihat aneh.
Seakan tersadar
dari lamunannya, Gwiboon segera menjawab perkataannya. “Annyeong haseyo..”
Lee Jinki, atau
yang biasa disapa Onew. Cowok bermata sipit itu terlihat senang ketika Gwiboon
menjawab sapaannya. Kemudian ia berbicara dengan Gwiboon. Yang sukses membuat
Gwiboon melongo tak mengerti.
“I’m sorry. But, I can’t speak
Korean language.” Jawab
Gwiboon sekenanya.
“I'm sorry. I think you can speak
Korean. Because your face like a Korean.”
“It’s okay.” Lagi-lagi Gwiboon menjawabnya dengan gugup.
“Ah Key.
Lihatlah! Dia mirip denganmu.” Ujar Onew, menyenggol lengan Key yang duduk
disebelahnya dan sedang mengambil iPod dari tasnya.
Key, alias Kim
Kibum yang membuyarkan segala lamunannya dengan suara cemprengnya tadi. Menoleh
kearah Gwiboon. Ia memperhatikan Gwiboon dengan sesaksama.
“Kau benar, hyung. Wajah tirusnya, matanya, dan
mulutnya mirip denganku.” Ia mengulurkan tangannya kearah Gwiboon. “I’m Key. And you?”
“I’m Gwiboon.”
“Kau orang Korea? Benar?”
Gwiboon hanya menggeleng pelan. “Bukan. Saya orang Indonesia.”
“Tapi wajahmu seperti orang Korea. Hmm.. sepertiku.”
“Betul, kau
orang Korea kan?” Kini Onew dan Key memandang Gwiboon seolah meminta jawaban
yang jujur.
“Aku hanya
keturunan Korea. Omma-ku orang Korea, dan ia bermarga Lee. Namun sayang, ketika
aku masih kecil, ia sudah meninggal. Jadi ini kali pertama aku ke Korea.
Sebelumnya aku tak pernah ke Negara itu selain kedua kakakku. Dan itu ketika
Omma masih hidup.”
“Aku minta
maaf, malah membuatmu jadi bersedih.” Onew mengelus pundak Gwiboon pelan.
Dan itu sukses
membuat wajah Gwiboon bersemu merah dan memberikan debaran luar biasa
dihatinya. Yeah! Karena ia mengagumi Onew lebih dari seorang idola, boleh
dibilang ia menyukai Onew. Menyukai senyum manis, suara merdu, gigi kelinci
juga kelucuannya.
Tapi ia cukup sadar diri, memilikinya adalah
mustahil. Bisa sedekat ini dengannya adalah hal luar biasa baginya.
“Ah! Jika ada
waktu luang, kau mau berjalan-jalan bersama kami?” Tanya Key dengan wajahnya
yang teramat cantik itu. Perlahan, Gwiboon menganggukkan kepalanya.
“Yah.. Key hyung.. Ternyata kau punya sodara di
Indonesia? Mengapa kau tak bilang pada kami?” Tanya Taemin dengan suara yang
polos dan menggemaskan itu.
Seketika
beberapa orang yang duduk di dekat mereka menoleh kearah Key, Onew dan Gwiboon.
Termasuk Jonghyun, Kyuhyun, Yesung, Changmin, Suho, dan lainnya.
“Aku melihat
ada 2 Key disini. Yang satu lelaki yang satu perempuan.” Ujar Kyuhyun dengan smir-nya yang terkenal itu.
Membuat mereka semua tertawa.
Bolehkah jika
ini semua disebut keberuntungan? Gwiboon, gadis yang memiliki hobi aneh.
Melihat pesawat, seolah suara pesawat merupakan radar baginya itu melihat ke
langit. Akhirnya bisa ke Negara impiannya, bertemu dengan SHINee dan dia.
***
Tak ada yang lebih bahagia dari ini kan? Apa
kau masih merasa kisah ini fiksi? Sayangnya, kisah ini nyata. Haruskah aku
tekankan lagi? KISAH INI NYATA.
Yeah! Nyata.
Tak ada yang lebih membahagiakan dari tanggal
22 September 2012 kan? Ah! Itu bagiku, sih. Hari ini aku wisuda, berangkat ke
Negara impianku, dan bertemu dengan orang-orang yang menghiasi hariku.
Bukankah ini menyenangkan? Bisa melihat mereka
sedekat ini? Tak ada pemisah seperti ketika menonton konser. Bahkan ketika
tangan besarnya menyentuh pundakku. Bolehkah aku melayang?
“Aku rasa kau beruntung.” Bisik Key yang
memajukan kepalanya kearahku. Membuatku juga Onew menatapnya heran. “Seharusnya
kau berada di pesawat satunya, karena pesawat ini penuh dengan para artis SM
dan staff.”
“Aku rasa mereka megira kau sebagai staff atau
bagian dari SM? Karena wajahmu mirip orang Korea. Itu hanya kemungkinanku
saja.” Ujar Onew seraya memperlihatkan senyum manisnya itu. Yang selalu sukses
membuatku diam seribu bahasa.
Aku berdiri dari dudukku dan mengambil sketchbook
yang aku taruh di dalam tas. Dan segera memberikannya pada Onew dan Key. Mereka
segera membuka lembaran itu satu persatu.
Terpancar jelas jika mereka kagum
dengan gambaranku ini. Bolehkan ake merasa bahagia?
“Apa ini kau yang gambar?” Tanya
Key tak percaya.
“Yeah! Aku suka gambar. Sangat suka. Dan aku
harap kalian suka dengan gambaranku. Karena semua itu memang ingin aku berikan
ke kalian. Makanya aku selalu membawanya kemana kaki melangkah. Karena aku
berharap bisa bertemu kalian. Dan ternyata, harapanku nyata dan aku bisa
bertemu kalian saat ini. Aku harus berterimakasih pada-Nya. Juga pesawat ini.”
“Kami akan menyimpannya. Kami sangat
berterimakasih padamu.” Onew memelukku sesaat.
Boleh aku melayang untuk kedua kalinya? Aku
benar-benar bahagia. Dia seseorang yang kagumi (dan cintai) itu memelukku.
Oh God! Thanks.
Aku bercerita seperti ini. Karena
aku ingin kau mengetahui tentang kisahku ini.
Bukan. Aku bukan pamer padamu. Aku hanya ingin
menyampaikan kisah bahagiaku. Itu saja.
Aku SHAWOL.. Apakah kau juga? Apa kau bahagia
mendengar kisahku ini? Kuharap kau bisa merasakan apa yang aku rasakan.
***
NB: Sepertinya
aku harus memberitahukan kisah di pesawat ini pada Taeyeon, sahabatku. Dan aku
juga harus bilang padanya. Jika Minho tak ikut ke Jakarta. Akankah bocah itu
bersedih? Tapi suatu saat jika ia beneran menyusulku ke Negara ini, aku
berjanji akan mengajak gadis imut itu untuk menemui mereka. I promise.
F I N
No comments:
Post a Comment