Jangan
paksa aku. Aku ingin menjaganya utuh-utuh. Tidak perlu celah ini kauisi.
Tidak
perlu pula remang ini kauterangi. Cukup seperti ini. Aku mengerti.
Jangan
buat ini bertambah sulit. Beri aku ruang untuk berdiri. Aku ingin menyimpannya
untuk diriku sendiri. Singkirkan jemari dan bawalah mereka pergi. Biarkan
semuanya terselip di bawah jerami. Tidak ada yang harus kaupahami.
Jangan buat aku
mengaku sebab semuanya akan berubah keruh. Kisah kita pasti akan layu. Tetaplah
di sana agar kau tidak mendengar bisikanku yang saru. Aku akan berpura-pura
tidak tahu jika dengan begitu aku akan berada di dekatmu. Selalu.
Dan, ketika
lututku bersimpuh lelah karenamu, percayalah kepadaku saat aku katakan aku
mencintaimu. Akan kuminta hatiku yang telah kautawan meski itu berarti
aku
harus kehilanganmu.
[david]
Awan putih itu berubah menjadi gelap dengan percikan
kilat juga suara petir yang menggelegar. Disusul dengan rintik-rintik air yang
mulai berjatuhan, membasahi apapun yang ada dibawahnya tanpa perduli
orang-orang yang mulai kebasahan karenanya.
Rintik itu kini menjadi deraian air yang semakin
deras. Beberapa orang mulai berlarian mencari tempat perlindungan agar mereka
tidak kebasahan, atau hanya sejenak berteduh untuk memasang jas hujan dan
segera berlalu. Kendaraan beroda empat dengan santai menapaki jalan raya,
memencet dengan kesal ketika di depan ada kemacetan.
Aku menatap jalan raya dari dalam café ini, terlihat
samar karena embun yang singgah di jendela. Aku mengusap embun itu sejenak,
agar aku dapat dengan leluasa memandang jalan raya. Beberapa anak memanfaatkan
kondisi itu untuk mencari uang demi sesuap nasi, menjadi ojek payung.
Aku melangkahkan kakiku menuju pintu café, ingin
rasanya segera berlalu dari sini. Seorang anak lelaki berusaha berdiri dengan
ujung jarinya agar dapat memayungiku. Aku menundukkan wajahnya agar dapat
melihatnya dan ia tersenyum manis padaku, menunjukkan gigi depannya yang
tanggal.
“Aku akan mengantarkanmu..”
Tawarnya.
Aku membalas senyumnya dan mengangguk. “Antar aku ke
halte di sebelah sana.” Aku menunjuk sebuah halte yang letaknya tidak terlalu
jauh dari kami. Ia mengangguk.
Ia masih memayungiku, sedangkan ia membiarkan dirinya
kebasahan. Aku mengambil tungkai payung itu dan menyuruhnya masuk. Ia
menengadahkan kepalanya untuk melihatku, terlihat jelas jika ia bingung akan
perlakuanku.
“Aku tak ingin kau kehujanan.”
Ia ingin membalas perkataanku. Tapi aku langsung
mengajaknya untuk berjalan ke halte itu. Ia hanya diam dan mengikutiku.
“Terimakasih. Ini untukmu.” Aku memberikan uang
berwarna merah beberapa lembar dan juga sebatang cokelat.
Ia membuka mulutnya, membentuk tanda ‘O’. Ia melihat beberapa
uang itu. “Terimakasih. Tapi ini terlalu banyak, aku tidak bisa menerimanya.
Aku hanya…”
“Tak apa. Itu memang untukmu. Terimakasih sudah
mengantarkanku.” Aku tersenyum padanya seraya menganggukan kepalaku menyuruhnya
segera pergi.
Ah! Rasanya aku ingin menjadi anak itu, sejenak saja.
Walau terbelenggu oleh kemiskinan tapi setidaknya ia hidup normal tidak
sepertiku.
Aku menatap
deraian air hujan, menyodorkan tanganku untuk dapat menyentuhnya. Hujan kali ini
seolah mengerti tentang perasaanku yang sedang bergelayut tak jelas akan
kejadian beberapa minggu yang lalu. Tentang hal yang tak pernah aku bayangkan
sebelumnya, hal yang membuatku terpojok.
Kualihkan pandanganku untuk menatap anak lelaki itu,
ia berlarian dengan senang. Tak perduli dengan hujan yang semakin deras. Aku
tersenyum memandangnya, ia begitu bebas.
Hei! Seorang anak kecil seperti dia saja bisa
berlarian senang diantara deraian air ini, mengapa aku tidak?
Aku mulai menyusuri jalan ini tanpa tentu arah.
Seperti anak lelaki itu, aku tak perduli jika aku kebasahan. Aku juga tidak perduli,
setelah ini apa aku akan jatuh sakit atau tidak. Aku tak perduli! Yang aku tahu
pasti, aku ingin bebas. Aku ingin membuang semua kenangan yang membuatku
menderita seperti ini.
Aku ingin berteriak, tapi aku tak mampu. Lidah ini
terasa kelu, hanya kristal bening yang berjatuhan dari mata kucingku ini.
Seharusnya aku tahu, tidak semua orang sepertiku.
Seharusnya aku tahu, jika setiap manusia memiliki
perasaan berbeda.
Seharusnya aku tahu, hanya beberapa orang yang
menganggap hal seperti ini adalah hal biasa.
Memori tentang hal itu tiba-tiba datang silih
berganti di kepalaku. Seolah mengejekku agar aku menerima kenyataan yang ada.
Kenyataan pahit yang belum bisa aku terima.
***
“Kenalkan.. Dia tunangannya
Jinki..”
Sesaat, aku
terdiam. Mematung. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya menerima tangannya yang
ingin bersalaman denganku dan tersenyum dengan penuh keterpaksaan.
Aku tahu, pasti
saat ini wajahku pucat. Bahkan hanya untuk menggenggam secangkir air saja terasa
berat untukku. Entah apa yang mengusikku, mengapa terasa kaku seperti ini. Aku
ingin segera berlari dari tempat ini.
“Hai.. maaf aku telat.”
Jinki, lelaki
itu mencium pipi perempuan yang kini telah menjadi tunangannya. Kini ia
tersenyum pada kakakku juga padaku.
Ia menatapku
heran, kemudian mendekati dan merangkul bahuku. “Kau pucat, apa kau tidak sakit?”
Aku hanya
menggeleng dan mengembangkan senyum yang terpaksa ini. Aku ingin jemari besar
ini menyingkir dari bahuku, aku tak ingin ia menyentuhku. Walau hanya sekedar
menenangkanku.
***
Aku masih berjalan dibawah deraian hujan yang masih
mengalir dengan deras ini. Menangisi kebodohanku yang telah mencintainya.
Menangisi kebaikannya yang telah salah aku artikan. Menangisi waktu yang tak
kan pernah bisa untuk terulang.
Seharusnya aku tahu, jika ia baik padaku itu karena
ia menganggapku seperti adiknya, bukan karena ia memiliki perasaan lebih
terhadapku. Ia hanyalah seorang anak tunggal yang tidak memiliki adik untuk
disayang.
Lihatlah, betapa bodohnya aku! Menganggap orang yang
terlalu baik itu sebagai sebuah rasa cinta. Sekarang benih-benih yang telah
bermekaran ini harus aku cabut hingga akarnya, agar benih ini tak tumbuh lagi
kemudian bermekaran kembali. Tapi apa aku mampu?
Bahkan sampai detik ini, aku masih tak mampu untuk
melupakannya. Berlari sejauh apapun terasa percuma karena ia masih saja
menghantuiku. Tapi akan kupinta kembali hatiku yang telah ditawan, aku tak
peduli jika aku harus melupakannya karena itu yang aku inginkan. Untuk segera
melupakannya.
Rahasia ini masih tertutup rapi tanpa seorangpun yang
mengetahuinya. Tak perlu ada yang tahu tentang kisah cintaku, kisah seorang
lelaki yang juga mencintai lelaki. Kisah yang tak normal, kisah yang tabu.
Sebuah anomali yang seharusnya indah menjadi robek-robekan kecil yang tak
berguna. Mengapa Tuhan menciptakan perbedaan, jika aku tak bisa menikmatinya?
Hujan yang semula deras ini perlahan menjadi rintik.
Aku memilih duduk di trotoar jalan, menundukkan kepala. Masih teringat jelas
perkataannya kala itu, saat ia akan melangsungkan pernikahannya dan menuai
janji di depan altar.
Sebelum ia
berjalan ke depan altar, ia mendekatiku dan membisikan sesuatu di telingaku. “Maaf
Key.. Jangan sesali perbedaan yang diberikan oleh-Nya. Hargailah. Perbedaan itu
indah. Dan.. setiap orang memiliki pasangannya masing-masing. Aku rasa kau akan
mendapatkan perempuan yang lebih baik, bukan lelaki sepertiku. Berjalanlah
dibawah garis hidup yang seharusnya. Tuhan selalu sayang pada hamba-Nya.” Kemudian ia berjalan dan mengikat janji di
depan altar untuk menjaga perempuan yang akan menjadi istrinya kelak.
Rahasia hatiku,
hanya Tuhan dan dia yang tahu. Kini ia melepaskan hatiku yang telah ditawannya.
Aku tersenyum melihatnya mencium kening perempuan itu.
Aku kembali berdiri dan memutar balik arahku,
berlari mencari anak lelaki yang tadi telah memayungiku. Bolehkan, jika sejenak
saja aku mengganti posisiku seperti anak lelaki itu, agar aku dapat
melupakannya dengan perlahan?
FIN
No comments:
Post a Comment