16.2.13

Just a Hope / SHINee / Chapter 1 of 3


Title                       : Just a Hope
Author                  : diaonyou
Cast                       : Lee Jinki, Kim Gweboon, Kim Jonghyun, dll.
Genre                   : Dibaca sampai selesai sajalah ya :)
Length                  : Chapter 1 of 3
Rate                       : PG/T





Backsound          : Karena FF ini remake, jadi lagu disini memakai lagu Indonesia bukan lagu mereka. Mau pakai lagu mereka, tetapi tak ada yang pas dengan suasana disini. Hehe. Peace ^^v

Disclaim               : SHINee bukan punya saya, tapi punya DIA, orangtua mereka juga SHAWOL. Tapi cerita ini mengalir dari kepala saya.

Warning              : TYPO(S). Aku tahu jika FF itupun harus realistis (pengecualian buat FF bergenre fantasy), tapi latar belakang dari FF ini (terutama dunia perkampusan) –jauh- berbeda dengan yang di Korea. Saya kurang memahami perkampusan di sana, jadi saya menyesuaikan dengan di Indonesia, mungkin ada pencampuran sedikit. Dunia ospek, yang ada di sini adalah yang saya alami selama menjadi MaBa, saya kurang tahu ospek disana seperti apa. Saya bertanya sama seseorang yang memang kuliah disana, ospek disana memang ada, tapi dia tidak mengikuti ospek, karena dia S2 disana. Oleh karena itu, saya tetap membuat ospek disini seperti yang saya alami. Jadi, maaf jika FF ini terlihat aneh dan.. hancur. Sebenarnya ini FF chapter lama saya, tokoh dan latar belakangannya pun di Indonesia. Dan, saya merombaknya, mulai dari tokoh dan latar belakang (seperti yang saya bilang tadi, kecuali dunia perkampusan). Bagi yang mau baca silahkan, bagi yang tidak mau baca juga tidak apa-apa. Enjoy ^^




Kita takkan pernah tahu, akan bertemu ataupun berteman dengan siapa suatu saat nanti. Akan banyak orang yang datang silih berganti di dalam kehidupan kita kelak, karena kita akan terus tumbuh untuk saling mengenal satu sama lain. Bukankah manusia adalah makhluk sosial?

Seperti kali ini, aku tak tahu akan bertemu dengan siapa nanti, besok ataupun tahun depan. Aku tak tahu siapa yang kelak akan menjadi jodohku, aku tak tahu aku akan memiliki beberapa anak. Yang kutahu pasti, hidup adalah misteri. Terlalu banyak kejutan di dalamnya, entah kejutan itu baik ataupun buruk.

Well, akupun tak tahu kepada siapa aku akan melabuhkan hatiku nanti. Tapi seseorang hadir begitu saja di dalam kehidupanku. Menerbangkanku kemudian menjatuhkanku begitu saja.Tanpa kata ia menjauhiku, terlihat dari tingkah lakunya jika ia menghindariku. Tak ingin berada di dekatku –sepertinya begitu.

Aku mengetahui sosoknya saat ospek. Mungkin jauh sebelum ospek. Lebih tepatnya saat test bahasa inggris. Ya, sebelum masuk kuliah ada beberapa test yang harus diikuti, salah satunya test TOEFL.

Aku sendiri. Aku tak mengenal siapa-siapa ditempat ini. Aku memang bukan asli dari kota ini, aku hanya ingin menuntut ilmu ditempat ini. Di salah satu universitas terbaik yang ada di ibukota Korea Selatan ini.

Aku duduk dibangku ketiga dari depan, sebelah kiri. Sejujurnya aku merasa gugup, walau hanya mengerjakan soal saja. Tapi terasa berbeda, jika mengerjakannya sendirian ditempat yang asing, tempat yang belum pernah dikunjungi.

Awalnya aku mengerjakan dengan lancar, tapi selebihnya aku menggelengkan kepala. Bahasa inggris bukanlah mata pelajaran yang aku sukai, aku lebih suka jika disuruh menggambar bukan berceloteh ria menggunakan bahasa asing itu.

Bosan. Waktu untuk mengerjakan masih lama. Aku melihat sekitarku, untuk mengurangi kejenuhanku. Perempuan di depanku ini menoleh kesamping –kearah temannya, mereka mulai saling memberi jawaban. Aku akui iri. Andai ada yang kukenal diantara mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama dengan mereka berdua.

Kini tatapanku beralih kesalah satu lelaki disana. Dengan rambut sebahu dark brown-nya, ia mengenakan kemeja merah maroon. Ia duduk membelakangiku –tepatnya ia duduk di bangku kedua sebelah kanan. Tiba-tiba ia menoleh kearahku, seraya mengatakan sesuatu. Baru saja  aku membuka mulutku, ia menghadap ke kertas soal kemudian menulis sesuatu –sepertinya sebuah jawaban.

Aku menatapnya kembali. Dan ia melakukan hal yang sama seperti tadi, menoleh kearahku kemudian mengatakan sesuatu. Sepintas aku menelusuri arah matanya, ternyata ia berbicara dengan seseorang dibelakangku. Seketika aku menundukkan wajahku, aku mengira ia berbicara padaku. Memalukan.

Tanpa sengaja, aku menatap jam di dinding. Pukul 12.30. Sial. Waktu untuk mengerjakan tinggal 30 menit lagi. Gara-gara melihat lelaki itu, aku jadi lupa untuk mengerjakan soalku yang belum selesai. Lihatlahgrammar ini! Begitu menyebalkan. Aku memainkan kancing kemejaku, kemudian menghitung. Mencoba mencari jawaban yang benar, entahlah, aku masih percaya dengan istilah ‘jika terburu-buru dan tak bisa memjawab, gunakanlah kancing kemejamu’. Terlihat  seperti lelucon, tapi aku tak peduli dan tetap melakukannya. Aku tak tahu apa jawaban ini benar atau salah. Well, aku berharap jawabannya benar.

“Yak! Waktu habis. Silahkan kumpulkan lembar jawaban kalian kedepan.”

Suara salah seorang dosen memecah kesunyian. Kelas yang semula hening, mendadak ramai. Ada yang masih mencari jawaban dengan cara bertanya sana sini, ada juga yang sudah mengumpulkannya terlebih dahulu. Aku memandang lembar jawabanku, aku pasrah. Beranjak dari dudukku dan segera mengumpulkannya.

Aku melangkahkan kakiku keluar kelas. Aku memandang sekitar, mencari sosok lelaki itu. Lelaki yang membuatku malu –bukan dia yang membuatku malu, tetapi aku yang salah paham. Aku tak menemukan lelaki itu disini, sepertinya ia sudah balik.

Aku berjalan gontai menyusuri anak tangga. Rupanya, di lantai satu ramai oleh mahasiswa yang akan mengikuti test TOEFL juga. Aku melewati mereka yang berlalu lalang tak karuan. Aku ingin segera balik ke rumah. Hari ini terasa melelahkan.

Tiba-tiba saja mataku tertuju pada seseorang. Lelaki yang tadi sempat aku cari, ia menuju parkiran motor bersama temannya. Rasanya aku ingin mengikuti mereka, tapi langkah kakiku menuntunku untuk segera menuju rumah. Aku mengeluarkan headset-ku kemudian menyusuri trotoar seraya bersenandung kecil.

***

Akhirnya beberapa test yang memang khusus diberikan dari universitas tersebut, sudah aku jalani semua. Capek. Pegal. Itu yang aku rasakan saat ini.Belum lagi, masih ada beberapa acara penerimaan mahasiswa baru yang wajib untuk diikuti. Oke, aku dapat menyimpulkan sesuatu. Ternyata menjadi mahasiswa itu tak mudah. Setidaknya, aku bahagia bisa keterima di universitas yang sudah lama menjadi impianku ini, terlebih dengan jurusan yang aku pilih ini.Visual Communication Design.

Aku memang berkuliah ditempat  yang sama dengan kakakku, hanya saja kami beda jurusan. Ia memilih jurusan Art Music, Karena ia lebih mencintai musik daripada mendesain. Sama sepertinya, aku juga mencintai musik. Karena dengan musik, aku dapat mengungkapkan segala perasaanku, begitupun saat aku menggambar.

Awalnya, aku ingin mengambil jurusan yang sama dengannya. Tapi setelah kupikir lagi, aku bisa belajar musik darinya tanpa aku harus masuk jurusan musik. Dan aku dapat mengembangkan keahlianku dalam menggambar juga bermusik dalam waktu yang bersamaan.

***

Aku menggeliat di atas kasur empuk ini, kemudian menatap jam diatas nakas. Pukul 6.30. Ah sial! Aku telat. Jam 7 tepat, aku harus berada di kampus. Aku langsung berlari menuju kamar mandi.

Hari ini adalah hari pertama ospek, ah ani, tetapi hari pertama pertemuan antara senior dan junior. Entah apa namanya, tapi mereka menyebutnya ‘Welcome Party’. Kami para mahasiswa baru harus menggunakandresscode dengan warna yang serupa.

Selesai mandi, aku segera bersiap. Memakai pakaian yang telah aku siapkan semalam.

Drrtt.. drrtt..
Aku mengambil handphone dan mulai membaca pesan singkat yang dikirimkan oleh temanku, Nicole. Tersenyum sekilas, kemudian aku melangkahkan kakiku menuju halaman depan.

“Yak! Gweboon! Kau tidak sarapan dulu?”

Ani, Oppa. Aku takut telat. Aku pergi dulu.” Ujarku seraya berjalan cepat kearah pintu. Sekilas, aku masih mendengar perkataan kakakku itu. Ia masih berbicara kemudian ia menggerutu sebal. Mianhae, Oppa.

Nicole sudah menunggu dengan motor matic  kesayangannya itu, ia tersenyum manis padaku. Aku mengenal Nicole belum lama ini, tepatnya saat kami mengikuti test ujian masuk jurusan kami. Kami memiliki beberapa kesamaan yang membuat kami ‘sedikit’ akrab. Hanya saja ia berbeda prodi denganku, ia memilih Desain Interior. Nicole termasuk cewek termodis –yang aku kenal, lihat saja pakaian yang ia kenakan kini. Hanya menggunakan gaun terusan baby blue selutut yang ditutupi cardigan biru tua. Dilengkapi tas slempang biru tua dan sepatu wedges hitam. Simpel tapi terlihat modis. Sedangkan aku? Hanya menggunakan celana jeans hitam dengan t-shirt­biru muda, jaket warna hitam, sneaker dan juga tas slempang cokelat kesayanganku. Sepertinya kau terlihat jauh berbeda dengan Nicole, Nicole yang feminim dan aku yang yang berantakan.

“Sudah siap, Gwe? Yuk.” Ia telah siap untuk menjalankan motornya itu. Aku hanya mengangguk, mengiyakan, dan segera naik motornya.

Mungkin terlihat aneh, aku yang berantakan malah dijemput oleh gadis feminim seperti Nicole ini. Tapi itu adanya, karena pada kenyataannya, aku sama sekali tidak bisa mengendarai sepeda motor. Trauma, mungkin itu alasannya. Aku sudah beberapa belajar mengendarai kendaraan beroda dua ini, tetapi hasilnya selalu sama. Motor yang kendarai terjatuh mulus ke dalam selokan yang mengakibatkan kaki lecet sana-sini.

Aku lebih memilih berjalan kaki jika harus mengendarai motor. Sebenarnya terbesit untuk berjalan kaki pagi ini, jika saja Nicole tidak mengirimkan pesan singkatnya tadi malam yang kujawab dengan cepat, bahwa aku setuju dengan senyum yang merekah.

***

Tak berapa lama kami telah sampai di pekarangan kampus. Kampus sudah mulai ramai oleh mahasiswa baru dan juga beberapa senior yang –mungkin- nantinya akan memberikan kami penyuluhan tentang dunia perkuliahan. 

Aku dan Nicole melewati beberapa kumpulan senior. Sangar. Masa Bodoh. Seram. Itu yang yang ada dipikiranku sekarang. Aku hanya bisa menunduk saat tanpa sengaja bertatap muka dengan mereka.

Kami segera menuju kelas di lantai tiga, tempat berlangsungnya acara Welcome Party tersebut. Kelas sudah mulai ramai dengan mahasiswa baru yang menggunakan dresscode warna biru sesuai dengan yang diperintahkan oleh senior. Kami duduk di deretan tengah, bangku sebelah kiri. Walau aku sedikit tomboy, tetapi aku susah jika harus berkenalan dengan orang-orang baru. Mungkin, sedikit canggung. Aku lebih memilih diam, terkadang berbincang dengan Nicole.

“Hei, boleh kenalan?” Tanya seseorang tepat di depan kami, ia mengulurkan tangannya. Kami refleks menoleh kearahnya. Nicole menyambut uluran tangannya seraya tersenyum padanya.

“Aku Nicole. Dan ini temanku, Gweboon.” Sama seperti Nicole, aku menyambut uluran tangannya dan tersenyum padanya.

Dua orang di sebelah kiri dan kanannya pun turut tersenyum pada kami. “Aku Luna. Dan ini Krystal..” Ia memperkenalkan seseorang yang duduk disebelah kirinya. Rambut yang panjang, wajah yang manis dilengkapi tubuh yang ramping dengan pakaian yang membuat ia terlihat anggun. “.. Dan yang ini Min.” Kini, ia memperkenalkan seseorang yang duduk disebelah kanannya. Sedikit berbeda dengan Krystal, Min lebih terkesan cuek. Sedangkan Luna, ia sama seperti Krystal, terlihat modis dan anggun. Tetapi Luna lebih banya berbicara daripada Krystal, aku berpendapat jika Krystal adalah seseorang yang pemalu jika berkenalan dengan orang baru. Mungkin, sama sepertiku.

Kami terlibat  dalam perbincangan yang –lumayan- seru, berbicara banyak hal, mulai dari musik sampai fashion. Ternyata pendapatku tentang Krystal, tidaklah salah. Kini, ia lebih banyak berbicara, terlebih ketika kami membicarakan musik. Dari pembicaraan ini, aku tahu, jika Krystal suka dengan musik, Luna lebih tertarik ke dunia fashion sedangkan Min lebih bersemangat jika berbicara tentang dance.

Tiba-tiba dari arah pintu muncul beberapa senior yang terlihat ramah dan baik, berbeda dengan senior yang aku lihat saat aku akan menaiki tangga. Mereka mulai membuka acara Welcome Party ini, mulai dari kenalan sampai pemilihan ketua angkatan. Ternyata, para senior ini satu tahun diatas angkatan kami. Ia tak memiliki wewenangan untuk memberikan kami ospek –nantinya, sehingga mereka diberi kepercayaan untuk menjadi pembuka untuk acara ini.

Mereka berlalu dari kelas, kupikir acara telah selesai. Tetapi, kami masih disuruh menunggu di dalam kelas. Bosan menghampiri, begitupun dengan rasa kantuk. Nicole asyik berbicang dengan Luna, membicarakanfashion, tentunya. Aku ingin mengajak Min dan Krystal berbincang, tapi sepertinya mereka sedang sibuk sendiri. Jadi, aku memilih untuk melihat sekeliling, menghafal wajah orang-orang yang menjadi teman seangkatanku ini.

Tanpa sengaja mataku tertuju pada seseorang yang wajahnya begitu familiar untukku. Seseorang yang mengikuti test TOEFL bersamaku, kala itu. Aku masih mengingat pipi chubby-nya, matanya yang menghilang kala tersenyum, dan ketika ia menoleh ke belakang untuk bertanya padanya lalu aku tertipu karenanya. Aku masih mengingat jelas semua itu. Aku memicingkan mataku, mengingat satu hal yang sedikit membuatku janggal.

Kini, ia berada dalam satu yang sama denganku, memakai pakaian dengan dresscode warna biru. Aku menggelengkan kepalaku sesaat. Jadi, kami satu jurusan?, batinku.

“Siang semua!” Tiba-tiba sebuah suara yang ngebass bergema di seluruh ruangan. Membuyarkan lamunanku.

“Siang!” Kami menjawab secara serempak. Ia menaikkan simpul bibirnya keatas, senyum yang terlihat seperti sebuah seringai.

Setelah orang itu memberi salam, beberapa orang menyusul dibelakangnya kemudian berdiri berjajar di depan kelas. Aku tak menghitung jumlah mereka, tapi sepertinya belasan. Barisan itu didominasi oleh lelaki, hanya ada beberapa perempuan disana. Mereka berbicara tiada henti, mulai pengenalan tentang kampus –terlebih mengenai jurusan kami, sampai bagaimana kami harus menghadapi senior. Mereka menyebut diri mereka SC, atau tim yang akan memberitahu kami jalannya ospek nanti seperti apa. Setelah selesai memberi tahu kami tentang dunia perkuliahan, mereka keluar dari kelas.

Tak berapa lama, muncul senior-senior dengan tampang sangar dan seram, seperti yang kulihat dibawah tadi. Mereka datang dengan aura yang begitu buruk, mereka memukul meja dengan keras kemudia berteriak lantang. Seketika, suasana menjadi hening.

“Apa kalian siap menjadi mahasiswa? Inget, ya! Masa-masa saat kalian masih sekolah dengan masa-masa kalian menjadi mahasiswa itu berbeda.”

Aku tak mengerti, apakah mereka berbicara karena mereka marah atau tidak. Aku tidak dapat membedakannya, hampir ditiap perkataan mereka, mereka selalu berteriak. Kami hanya bisa menundukkan kepala, tak berani menatap wajah-wajah yang begitu mengerikan.

Saat itu aku tahu, ini awal ospek kami dimulai. Perjalanan panjang yang akan kami lewati sebelum masuk kedunia perkuliahan yang sesungguhnya. Masa-masa terberat yang begitu memuakkan juga menyenangkan –mungkin.

Mereka masih saja berteriak –atau berbicara, entahlah. Mereka menyebut diri mereka sebagai IC, tim yang akan mengerjai kami selama ospek. Sama seperti SC, tim ini pun didominasi oleh cowok dengan wajah yang hampir serupa, sangar dan menakutkan. Jika boleh diibaratkan, SC itu seperti angel sedangkan IC seperti devil. Mereka berbanding terbalik.

***

Seminggu terlalu berlalu dari perjalanan panjang kami itu. Mulai dari caci-maki yang kami terima, dijemur di bawah terik matahari, dikerjai oleh mereka yang berakhir dengan push-up. Tapi setelah semua ini selesai, aku tahu. Jika ospek merupakan sebuah cara dimana kita menghadapi dunia luar –nantinya.

Dan hari ini, kami mulai kuliah untuk pertama kalinya. Ada sesuatu yang membuat kami terlihat berbeda, yaitu pakaian yang kami gunakan. Kami tak perlu memakai seragam, seperti halnya saat kami masih sekolah dulu. Kami diperbolehkan memakai pakaian apa saja, asal masih dalam batas kesopanan yang ada.

Aku dan beberapa temanku, segera menuju tangga untuk ke kelas kami yang berada di lantai 3. Banyak senior yang berkeliaran disekitar kami, mereka seolah menatap kami dengan tatapan tak suka , terkadang mengejek. Mereka seperti mendapatkan mangsa baru yang siap diterkam, ketika melihat kami. Kami tak dapat membalas tatapan kesal mereka, karena kami masih mahasiswa baru. Kami hanya bisa menundukkan kepala seraya berkata, ‘annyeong haseyo, sunbaenim’.

Sejujurnya, aku menghargai adanya penyuluhan seperti ospek ini, tetapi tidak dengan para senior yang terlihat begitu berkuasa di tempat ini. Seolah mengacuhkan kami dan menganggap kami tidak ada. Padahal, hak kami sama. Kami membayar uang kuliah yang sama juga mendapat pengajaran dari dosen. Tapi, kami seolah diasingkan seperti ini. Ah! Sangat memuakkan.

Tubuh ini terlalu cepat lelah, menuju lantai 3 saja berat rasanya. Aku menghembuskan napas panjangku, tanpa mau bertemu dengan para senior aku segera mencari kelasku. Aku memasukinya dengan ragu, malas rasanya jika salah kelas. Aku menatap wajah-wajah yang selama seminggu ini, menderita bersamaku karena ospek. Walau kami selalu bersama selama seminggu, itu tak membuatku hafal dengan nama dan wajah mereka. Terlebih, kami dijadikan satu dengan tiga jurusan yang ada, Visual Communication Design, Interior Design, dan Product Design. Tapi, tidak sekarang karena kami sudah mulai kuliah dengan jurusan kami masing-masing.

Aku hanya mengenal Luna, Krystal, Min, Dongwoon, Jinwoon, Nana dan yang lain aku tidak terlalu hafal dengan nama mereka. Ah, sepertinya aku harus berkenalan dengan mereka sekali lagi. Sayang, tidak ada Nicole disini. Mungkin, jika ada dia aku bisa dengan mudah akrab dengan mereka semua.

Aku duduk di bangku deretan tengah sebelah kanan, dekat jendela. Angin berhembus dengan sejuk di tempat ini. Posisi yang menyenangkan –menurutku. Kelas ini cukup lucu, terdapat 3 baris tempat duduk di sisi kanan, tengah dan juga kiri. Di tiap baris, memiliki 3 bangku.

“Boleh aku duduk disini?” Tanya seseorang padaku, aku menoleh padanya kemudian tersenyum. Tanda menyetujuinya.

“Silahkan.”

Gamsahamnida. Nae ireumen Suzy imnida.” Ia memperkenalkan dirinya seraya mengukurkan tangan.

“Gweboon imnida.” Aku tersenyum padanya dan ia membalas senyumanku. Manis. Satu kata itu yang terlintas di kepalaku. Rambut yang panjang dengan wajah yang putih mulus. Aku memandang rambutku yang hanya sebahu, kemudian memandang rambut panjang lurusnya.

“Kau bukan asli dari Seoul?” Tanyanya.

Aku menggelengkan kepalaku. “Aniyo. Aku dari Daegu, Suzy-sii.”

“Hai, kita seumuran. Jangan kau terlalu formal padaku. Pakai bahasa banmal saja, tak apa-apa. Kita teman sekelas, dan menghabiskan banyak waktu bersama.” Ia tersenyum lagi padaku.

Arasso.

Aku menatap sekeliling kelas lagi, mencoba menghafal wajah-wajah yang akan menemaniku selama 4 tahun ke depan. Tiga orang lelaki masuk dengan tergesa-gesa kemudian mencari tempat duduk yang kosong.

“Aku kira, kita telat.” Ujar seseorang diantara mereka. Dan anak-anak yang lain hanya tertawa mendengar perkataan polos lelaki tersebut.

Mataku terperanjat ketika melihat seseorang yang begitu familiar diantara ketiga lelaki itu. Anak yang ku tahu saat ospek, kemudian kami bertemu saat Welcome Party. Dan kini, ternyata kami sekelas. Sekilas aku tak terlalu hafal dengan wajahnya, karena rambutnya yang dipotong 2 cm. Ia terlihat sama dengan anak-anak yang lain dengan rambut yang dipotong sependek itu. Aku teringat saat menjelang, jika anak lelaki harus menyamakan rambut mereka dengan rambut anak yang terpendek. Saat itu, hanya ada seorang yang memiliki rambut dengan panjang 2 cm, sehingga semua anak lelaki memotong rambutnya sependek itu. Tidak sedikit yang menggerutu Karena memotong rambutnya yang sudah susah payah dipanjangin.

Walau ia terlihat sama dengan yang lain, tetapi pipi chubby dan mata sipitnya tak dapat membuatku melupakannya. Jinki. Itu yang kudengar saat seseorang yang memanggilnya. Aku yakin, ia pasti tak tahu siapa aku, seorang perempuan yang tertipu saat ia menoleh padaku dan mengajak orang di belakangku berbicara.

Tak berapa lama, seorang dosen datang. Ia tersenyum ramah pada kami. Ia tak banyak menjelaskan tentang mata kuliah hari ini, ia hanya memperkenalkan namanya dan menjelaskan tentang tata tertib selama mata kuliahnya saja. Kemudian ia keluar. Mungkin, karena ini hari pertama masuk kuliah sebagai mahasiswa baru sehingga ia hanya menjelaskan sedikit.

Hari semakin siang, dan kami memutuskan untuk balik ke rumah. Kami malas untuk berlama-lama di kampus terlebih dengan tatapan senior pada kami. Tetapi, suatu kebodohan yang entah berasal darimana. Kami masih harus menunggu kelas Desain Interior dan juga Produk selesai. Jadi, kami disuruh berinteraksi dengan para senior. Ah! Begitu menggelikan.

***

Tanpa terasa lajurnya waktu, kami sudah bersama selama tiga bulan. Tapi, selama tiga bulan pula masih ada rasa kecanggungan diantara kami. Sifat saat di sekolah masih ada yang membawanya sampai sekarang, seperti membuat suatu perkumpulan. Mereka akan memilih teman yang sesuai dengan apa yang mereka miliki. Aku hanya menggelengkan kepala melihat itu semua, aku tak perduli apa aku akan memiliki banyak teman atau tidak. Yang aku tahu, aku tidak terlalu suka dengan cara berteman yang pilih-pilih seperti itu, aku lebih senang berteman dengan siapa saja.

Aku memang sudah berkenalan dengan semua anak di kelas ini, termasuk Jinki. Tetapi, kami sama sekali tidak pernah berkomunikasi. Mungkin hanya dengan dia aku sedikit canggung, entah apa yang membuat kami tidak bisa akrab. Tapi semua berubah, ketika Minzy meminjam ponselku.

“Gwe, aku boleh pinjam ponselmu? Aku lagi tak memiliki pulsa.” Tanya Minzy seolah memelas padaku. Aku tersenyum melihat tingkahnya  kemudian mengeluarkan ponselku.

“Nih, pakai saja.”

“Aaa.. Gomawo Gweboonie.” Ia memelukku kemudian mengirimkan pesan singkat pada seseorang yang aku tak tahu siapa.

Setelah selesai, ia mengembalikan ponselku. Dan kami melanjutkan menggambar suasana. Tugas ini dikumpulkan siang ini juga, mau tak mau kami harus mempercepat pekerjaan kami.

Waktu menunjukkan pukul 15.00, kami segera mengumpulkan tugas kami. Dan bergegas untuk pulang ke rumah. Kami tidak harus menunggu kelas lain lagi, seperti biasanya. Kini, kami tidak terlalu takut dengan senior kami itu, malah kami sudah –sedikit- akrab dengan mereka.

Aku ingin bergegas pulang kerumah kemudian merebahkan diri kasur empuk dan merangkai mimpi.

***

Aku menghempaskan tubuhku ke kasur. Mata rasanya memejam. Tapi kuurungkan niatku, ketika ponselku bergetar. Menandakan ada pesan singkat yang dikirimkan untukku.

From : 이진 ^^ 
Memangnya tugas perbaikan itu dikumpulin kapan? 2 minggu lagi ya?

Tugas perbaikan? Mengapa tiba-tiba Jinki mengirimkan pesan singkat seperti ini padaku? Bahkan, aku sama sekali tidak pernah mengirimkan pesan singkat padanya. Berbagai pertanyaan terlintas di kepalaku.

Sejenak, aku mengingat ponselku yang tadi dipinjam oleh Minzy. Aku membuka pesan keluar dan pesan masuk secara bergantian. Jadi, tadi Minzy meminjam ponselku untuk mengirimkan pesan pada Jinki? Sekilas aku menyunggingkan senyumku. Aku segera membalas pesannya.

To : 이진 ^^
Setahu aku, tugas itu dikumpulkan 2 minggu lagi.

Kami saling berbalas pesan singkat. Aku selalu dapat menyunggingkan senyumku takkala ia membalas pesanku. Aku tak tahu, apa ia tahu jika yang membalas pesannya itu aku atau Minzy. Aku tak perduli, aku senang dengan keadaan seperti ini.

Aku yang semula ingin memejamkan mata karena mengantuk, justru kini semakin berbinar-binar. Karena Jinki? Mungkin. Apa aku jatuh cinta pada lelaki berpipi chubby itu? Entahlah. Yang jelas aku selalu suka melihatnya, semenjak pertama kali aku melihatnya.

Aku menuju meja belajarku, mengambil sketchbook. Kemudian menggambar sketsa wajahnya, wajah yang selama beberapa hari ini menghantuiku.

Jika seseorang perempuan –entah ia tomboy atau tidak, maka ia akan terlihat aneh. Sepertiku, aku selalu tersenyum jika membayangkan ia yang tersenyum manis kemudian matanya menghilang seolah tertelan oleh pipi chubby­-nya itu. Dan entah, mengapa aku membuat folder tersendiri untuk pesan singkat darinya.

***

Tanpa terasa, kami sudah 5 bulan bersama. Hari ini kami UAS (Ujian Akhir Semester) menggambar, kami disuruh menggambar suasana yang ramai dikunjungi orang. Seperti, suasana bandara, mall, kebun binatang, taman bermain.

Aku dan Suzy berlari dengan tergesa-gesa, kami takut telat. Dosen kami tak bisa mentolerir anak yang telat, terlebih ini UAS. Beberapa anak melewati kami, seraya berkata, ‘buruan’.

Aku segera menyusuri tempat duduk yang menjadi kesukaanku, deretan tengah sebelah kanan, dekat jendela. Ternyata, bangku itu sudah ada pemiliknya. Dongwoon dan Jinki. Tempat duduk di sebelah kiri Jinki kosong, tanpa pikir panjang aku segera duduk disana. Sedangkan Suzy, ia duduk di depanku bersama Hyorin dan Narsha.

Entah, perasaan apalagi yang mengelutiku kini. Desiran aneh dan jantung yang berdetak lebih cepat, aku menatap sekilas kearah Jinki kemudian melihat gambarnya. Ia melakukan hal yang sama denganku, tanpa sengaja mata kami saling bertemu. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Senang rasanya, ketika ia tersenyum padaku, memperlihatkan gigi kelincinya itu. Sejujurnya, ini pertama kali aku duduk didekatnya dan memandangnya dengan jarak sedekat ini.

Selama mengerjakan UAS ini, kami bertiga malah bercerita banyak. Semua karena Dongwoon, mungkin tanpanya, hanya ada kecanggungan diantara kami. Dan.. lagi-lagi ini pertama kalinya, aku bisa berbicara banyak dengan Jinki, yang sebelumnya kami jarang berbicara kecuali tentang tugas. Minho, Yoseob dan Yonghwa yang duduk dibelakang kamipun ikut berbicara. Tak ketinggalan Suzy, Hyorin dan Narsha. UAS kami memang sedikit berbeda dengan jurusan lain, karena UAS kami tanpa pengawas. Dosen yang seharusnya mengawasi kami, hanya masuk untuk memberikan soal kemudian ia berlalu dari sini. Mungkin, karena ini UAS menggambar, yang tak mungkin sama.

Tepat pukul 11.00, UAS kami dikumpulkan di ruang dosen. Kelas mulai ramai dengan tingkah yang mereka tunjukkan sehabis ujian, ada beberapa tingkah aneh yang mereka tunjukkan. Lucu. Seperti Minzy, yang menari-nari tak jelas di depan kelas, Yoseob yang menyanyi dengan kotak pensil sebagai mic-nya, JungShin yang menggunakan sapu sebagai gitar dan MinHwan yang memukul meja dosen. Apa mereka ingin membentuk sebuah grup band? Ada-ada saja. Tapi ada wajah-wajah murung dan ketakutan seperti wajahnya Jessica, sepertinya ia belum selesai mewarnai tadi. Entahlah.

“Tugas labirinku belum selesai. Kapan kau akan mengerjakan tugas labirinmu, Dongwoon-ah?” Tanya Jinki seraya memasukkan peralatan menulisnya ke dalam tas. Suaranya yang cukup keras terdengar olehku.

“Nanti sore, aku akan mengerjakan di rumah Gweboon. Ya ‘kan, Gwe?” Kini giliran Dongwoon yang bertanya padaku, aku menoleh kearahnya kemudian mengangguk.

“Iya, sama Yoseob dan YongHwa juga, kan?”

Dongwoon menganggukan kepalanya kemudian menyenggol lengannya Jinki. “Apa kau mau ikut juga, Jinki?”

“Tentu saja. Aku tak mau mengerjakan tugas ini sendiri tanpa teman. Jam berapa mengerjakan ditempatmu, Gwe?”

“Jam 4 saja ya?”

Mereka mengangguk, menyetujuinya. Kami segera berbenah dan pulang. Walau kami sudah UAS, tugas perbaikan masih saja mengganggu kehidupan kami. Kami masih harus mengumpulkannya sampai batas yang ditentukan. Aku ingin segera libur!

***

Waktu menunjukkan pukul 19.00, tetapi mereka masih mengerjakan tugas perbaikan labirin ini. Mereka sudah berkumpul di tempatku dari jam 4 tadi. Seperti perkataannya tadi, Jinki pun ikut mengerjakan bersama kami. Ini pertama kalinya, ia kerumahku dan mengerjakan tugas bersama kami. Biasanya, aku, Dongwoon, Yoseob, YongHwa dan lain selalu mengerjakan tugas di rumahku, kecuali Jinki.

Rumahku ini selalu dijadikan tempat berkumpul mereka, dikala mengerjakan tugas ataupun tidak. Mereka selalu meluangkan waktu untuk main ketempatku. Aku jadi merasa tidak kesepian dengan kehadiran mereka disini. Kakakku selalu pulang malam, biasanya ia selalu berkumpul bersama teman-temannya, atau latihan musik di studio yang mereka sewa. Entahlah.

Tanpa sepengetahuan mereka, aku selalu tersenyum senang karena kehadirannya kerumahku. Bisa mengerjakan tugas bersama. Disaat kau sedang jatuh cinta, semua ini terasa menyenangkan. Bisa berkumpul juga bercerita banyak hal dengan seseorang yang kau sukai, bukankah itu menyenangkan?

***

Hari demi hari, aku dan Jinki mulai akrab. Walau tetap saja, masih ada sedikit rasa kecanggungan disana. Ia selalu mengajakku untuk mengerjakan tugas bersama, entah sendiri ataupun dengan yang lain. Aku senang saat ia mulai mengirimkan pesan singkat untukku, tapi aku akan merasa sebal jika pesan singkat yang ia kirimkan hanya sebuah pertanyaan yang terkadang aku bosan mendengarnya. Seperti kali ini, aku membuka ponsel yang sedari tadi bergetar.

From : 이진기 ^^
Gwe, kau sedang apa?

Awal yang menyenangkan kala ia menanyakan tentang keadaanku. Tetapi semua terasa menjemukan ketika pertanyaan selanjutnya yang ia kirimkan.

From : 이진기 ^^
Apa kau sudah mengerjakan tugas nirmana?

Bisakah ia tidak selalu menanyakan hal yang sama kepadaku? Aku segera membalas pesannya walau dengan rasa malas. Tak berapa lama, iapun membalas pesanku.

From : 이진기 ^^
Bagaimana jika kita mengerjakan bersama, mungkin kau jadi tidak malas? ^^~

Sesaat aku tersenyum setelah membaca pesan singkatnya. Walau aku bosan dengan pertanyaannya yang selalu sama, tapi desiran aneh ini selalu membuatku tersenyum kemudian menyetujuinya.

To : 이진 ^^
Baiklah. Kau kesini jam berapa, Jinki-ssi?

From : 이진 ^^
Sekitar jam 4, aku akan menghubungi Dongwoon dan YongHwa dulu. Nanti aku akan mengabarimu, Gwe!

Ah, aku mengira hanya ingin mengerjakan tugas hanya berdua denganku. Tapi ternyata ia mengajak Dongwoon dan YongHwa juga. Tapi tak apalah, setidaknya malam minggu ini aku bisa menghabiskan waktu bersamanya juga dengan yang lain. Walau hanya mengerjakan tugas.

Aku merebahkan tubuhku, senyum dibibir ini belum saja pudar. Sial! Mengapa aku terlalu gembira seperti ini? Aku melirik jam Rapunzel yang bertengger manis di dinding kamar. Pukul 15.20.  Aku bergegas bangun kemudian menuju kamar mandi.

Selesai mandi, aku menuju halaman belakang seraya melanjutkan tugas ilustrasiku yang belum selesai. Dan tanpa sadar, aku menggambar wajah Jinki. Saat ia tersenyum, mengerucutkan bibirnya, menggigit bibir bawahnya. Aku tersenyum setiap membayangkan wajahnya.

Drrtt.. Drrtt..

Getar ponsel menghentikan lamunanku tentang Jinki. Desiran aneh ini kembali muncul. Jinki-kah yang mengirimkan pesan singkat ini?

From : 손동 ^^
Gwe, apa yang lain sudah datang? Aku ketempatmu sekarang ya?

Ah, rupanya Dongwoon yang mengirimkan pesan singkat untukku. Aku menghembuskan nafasku, dengan malas aku membalas pesannya.

To: 손동  ^^
Mereka belum datang.
Oke, Dongwoon-ah

Aku meletakkan ponselku, membuka lembaran sketchbook-ku. Menelusuri wajah Jinki yang tadi aku gambar. Lagi-lagi getar ponsel ini menggangguku menikmati wajah manis ini. Aku mengambilnya dengan sebal, Dongwoon-kah? Atau YongHwa?

From: 이진기 ^^
Gwe, aku ketempatmu sekarang ya?

Aku membelalakan mata kemudian tersenyum senang. Yang tadinya sebal, kini aku membalasnya dengan semangat.

To: 이진기 ^^
Oke, Jinki-ssi. ^^
Hati-hati ya

Tingtong ~ tingtong
Aku beranjak dari dudukku dan segera menuju pintu depan. Menebak-nebak siapa yang datang secepat ini. Dongwoon? Rumahnya tidak terlalu dekat dari rumahku. Ataukah Jinki? Tapi ia baru saja berangkat.

Seorang lelaki terlihat menggerakkan kepalanya kesana kemari. Sepertinya mencari seseorang di dalam rumah. Aku tertawa melihat tingkahnya. Ia tersenyum masam ketika melihatku membuka pagar.

“Kau lama sekali, Gwe!”

“Aku mana tahu, kau yang duluan datang. Kau tak memberitahuku terlebih dahulu, dan.. bukankah rumahmu lebih jauh daripada yang lain, YongHwa-ssi?”

“Haha.. Mianhae, Gwe. Aku lupa menghubungimu.” Ia memasukkan motor kesayangannya ke dalam garasi. “Dan.. bisakah kau tidak terlalu formal seperti itu? Berapa lama kita harus berteman, agar kau tidak terlalu formal padaku?” Ia memandangku sinis kemudian ia mengacak rambutku seraya tertawa.

Kami menunggu Jinki dan Dongwoon diteras belakang rumahku, tempat biasa kami mengerjakan tugas. Beberapa tanaman hias menghiasi halaman teras belakang ini, membuat suasana terlihat asri dan dingin. Itu yang membuat mereka betah untuk mengerjakan tugas disini ataupun bermain ke rumahku.

Aku dan YongHwa mulai mengerjakan tugas berdua selagi menunggu yang lain datang. Terkadang kami membicarakan tentang kelucuan teman-teman kami seraya tertawa. Tak berapa lama, bel pintu rumahku berbunyi kembali. Aku rasa itu Jinki atau Dongwoon. Aku segera berjalan ke depan dan membukakan pintu.

Jinki! Ia tersenyum manis di depan motor bebek kesayangannya.

“Hai, Gwe!” Sapanya. Sial! Desiran aneh ini datang kembali. Aku tak tahu apakah kini wajahku seperti kepiting rebus. Aku membalas senyumannya.

Mianhae, aku lama.” Ucapnya kembali seraya memasukkan motornya.

Gwaenchana, Jinki-ssi.”

Ia memandangku lekat. “Mengapa kau selalu berbicara formal padaku? Bisakah kau menggunakan banmalpadaku?”

Jinki-ah..” Ucapku ragu.

“Nah, begitu. Akan lebih membuat suasana tidak canggung. Hanya pada Dongwoon kau bisa menggunakanbanmal, mengapa padaku tidak? Bahkan, aku sudah berusaha menggunakan banmal padamu.”

Aku membelalakan mataku, tak menyangka jika Jinki akan bertanya dan mempermasalahkan hal ini. Tetapi, bukankah kami masih canggung satu sama lain, walau kami sering mengirimkan pesan singkat.

“Ah, mianhamnida, Jinki-ah..” Lagi-lagi aku mengucapkannya dengan ragu seraya membungkukkan badanku. Ia justru tersenyum manis padaku. Desiran aneh ini datang kembali.

“Gweboonie.. Jinki-ah..” Teriak seseorang, yang memaksaku dan Jinki untuk berbalik melihatnya. Ternyata itu Dongwoon yang baru datang. “Aku telat ya? Mianhae.” Dengan gesit ia memasukkan motornya tanpa kusuruh.

“Aku tadi habis mengantarkan adikku untuk bimbingan belajar.” Ucapnya lagi seraya berdiri disebelah kananku.

“Tak apa. Masuklah. Kasihan YongHwa sudah menunggu kalian sedari tadi.”

Kami segera masuk ke dalam rumah –tepatnya ke teras belakang. YongHwa asyik mendengarkan music dengan Ipod-nya seraya menjadikan sapu sebagai gitarnya. Kami hanya terpaku melihatnya yang bertingkah konyol seperti itu. Ia tak menyadari kedatangan kami, ia masih asyik dengan sapu di tangannya.

“YongHwa-yah..” Teriak Dongwoon, tetapi YongHwa tak menggubris panggilan Dongwoon malah semakin menggila dengan aksinya.

“YongHwa!” Teriak kami bertiga. Ia membuka headset-nya kemudian menatap kami dengan terkejut. “Ka.. Kalian sudah lama berdiri disini?” Tanyanya masih kaget.

“Cukup sampai melihatmu berdiri dan mengambil sapu kemudian beraksi seolah menjadi gitaris.” Ujarku seraya duduk di lantai diikuti dengan Jinki dan Dongwoon. Mereka masih tertawa karena tingkah konyol YongHwa. Sedangkan YongHwa, ia hanya mengerucutkan bibirnya karena ditertawakan.

“Kau mendengarkan lagunya siapa? Sampai kau tak mendengar panggilan kami.” Tanya Dongwoon seraya menyenggol lengan YongHwa.

“CNBLUE – I’m a Loner. Lagunya enak, jadi tanpa sengaja aku memposisikan diriku sebagai vokalisnya.” Jawabnya acuh seraya melanjutkan tugasnya yang belum selesai. Lagi-lagi kami hanya tertawa mendengarkan perkataannya.

Kami kembali melanjutkan tugas nirmana kami, membuat sesuatu dari cutton buds yang di berdirikan di atas gabus kemudian diberi warna sesuai dengan gradasi yang kami inginkan. Selagi mengerjakan tugas, kami tak tak hentinya berbicara tentang apa saja yang kami anggap lucu. Malam minggu ini terasa menyenangkan untukku, terlebih ada Jinki disampingku.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami segera membereskan sampah-sampah yang kami hasilkan karena membuat tugas ini. Setelah membereskan teras ini, kami segera ke depan.

“Gwe, kami balik dulu, ya?” Tanya YongHwa seraya mengeluarkan motornya, aku hanya menganggukan kepalaku.

“Apa kau berani sendirian, Gwe? Apa kau mau kami temani selagi menunggu JongHyun hyung?” Jinki terlihat mengkhawatirkanku.

Gwaenchana, Jinki. Aku berani. Jika kalian ingin pulang, tak apa.” Jawabku meyakinkan mereka.

Mianhae, Gwe, Jinki, YongHwa, aku harus balik terlebih dahulu. Eomma sedari tadi sudah menelponku.” Kami menganggukan kepala, mempersilahkan Dongwoon untuk balik terlebih dahulu.

“Aku berani, kalian tenang saja.” Aku kembali meyakinkan Jinki dan YongHwa.

Jinki masih menatapku tak percaya. Tetapi tidak dengan YongHwa, ia meminta izin untuk balik. Terlihat dari kedua matanya jika ia telah mengantuk. Kini, hanya tinggal Jinki yang ada disini.

Jinki-ah, kau pulanglah. Aku berani sendirian. Aku sudah biasa seperti ini.” Aku menatapnya, mencoba meyakinkannya. Ia menatap langit yang malam ini bertabur bintang.

“Aku akan menunggumu sampai JongHyun hyung datang. Terserah, apa kau akan mengusirku atau tidak, aku akan tetap menunggumu.” Kini pandangannya beralih menatapku kemudian tersenyum manis padaku.

Gomawo.” Ucapku pelan.

Tak berapa lama, seseorang yang kami nanti telah datang. Kami segera berdiri dan menyambutnya. Jinki segera berpamitan padaku juga kakakku.

“Hati-hatilah, Jinki-ssi. Ini sudah malam.” Kataku seraya tersenyum padanya. Ia memandangku tak suka. “Jinki-ah.” Kini ia membalas senyumanku dengan lembut.

“Aku pamit dulu, Gwe, JongHyun hyung. Annyeong.”

“Kau berpacaran dengannya?” Tanya kakakku dengan tatapan menyelidiknya saat Jinki telah berlalu dari sini. Dengan cepat, aku menggelengkan kepalaku. “Sudahlah. Tidak usah berbohong padaku. Aku dapat melihat jelas dari tatapan kalian.” Ia mengacak rambutku dengan sayang kemudian kami memasuki rumah.

‘Andai yang kau katakana benar, Oppa. Aku pasti akan sangat bahagia. Sayang, kami tidak memiliki hubungan apapun selain berteman.’ Batinku.

***

To Be Continued

No comments:

Post a Comment