Title : Just
a Hope
Author : diaonyou
Cast : Lee Jinki, Kim Gweboon, Choi Minho, dll.
Genre : Dibaca
sampai selesai sajalah ya :)
Length : Chapter 2
of 3
Rate : PG/T
Backsound : Karena FF ini remake, jadi lagu disini memakai lagu
Indonesia bukan lagu mereka. Mau pakai lagu mereka, tetapi tak ada
yang pas dengan suasana disini. Hehe. Peace ^^v
Disclaim : SHINee bukan milik saya, tapi
milik DIA, orangtua mereka juga SHAWOL. Tapi cerita ini mengalir dari kepala
saya.
Warning :TYPO(S). Satu part lagi tamat
nih. Hihi..
Hari demi hari,
aku lalui dengan senang terlebih ada Jinki di dekatku. Walau hubungan kami
hanya sebatas teman, tapi itu sudah membuatkan bahagia. Kami selalu bersama
mengerjakan tugas ataupun sekedar berjalan-jalan.
Aku memang
mencintainya, semenjak pertama kali aku melihatnya dia test TOEFL. Mungkin, ini
yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Entahlah. Tapi aku nyaman dengan
rasa yang aku miliki ini.
Jangan pernah
bertanya padaku, mengapa aku bisa mencintainya. Karena aku pun tak mengetahui
apa jawaban dari rasa suka ini. Yang aku tahu, saat aku di dekatnya, jantungku
berdegup tak karuan.
***
Aku
melangkahkan kakiku dengan gontai menuju anak tangga. Jujur, aku malas jika
melewati senior-senior yang berlalu lalang di sekitar tangga. Mereka masih
memandang kami, seolah mengejek dan ingin menerkam. Bahkan, ini sudah empat
bulan kami menginjakkan kaki di kampus ini. Tetapi, mereka tak menganggap kami
ada atau jadi bagian dari kampus ini.
“Gwe...”
Seseorang menepuk pundakku pelan. Aku menyunggingkan senyumku padanya. “Mengapa
kau berjalan sambil bengong seperti ini, sih?”
“Ah. Tak apa-apa.” Jawabku cepat.
“Kalau begitu,
ke kelas bareng yuk?” Ia melangkahkan kakinya menyusuri anak tangga, aku segera
menyusulnya.
Aku
menghembuskan napasku berat. Sial! Bahkan hanya ini hanya lantai 3, tapi
mengapa aku seperti menapaki 6 lantai seperti ini. Lelah.
Aku segera
memasuki kelas kami. Aku segera duduk dibangku kesukaanku itu. Meletakkan tas
di atas meja dan duduk dengan malas. Seseorang yang tadi menyapaku, melakukan
hal yang sama denganku. Ia duduk tepat di sampingku.
Minho. Orang
yang duduk di sebelahku ini, susah ditebak. Terkadang ia bisa baik, tapi
terkadang dia masa bodoh dan tak peduli. Banyak yang suka dengan lelaki ini.
Dan ia terkenal sebagai playboy,
sudah beberapa kali ia ganti pasangan. Alasannya sih, karena belum ada yang
memenuhi kriterianya. Ia selalu sibuk dengan gadget-nya. Ia tak pernah melepaskan, ponselnya kemanapun ia pergi.
Benda itu selalu dibawanya.
Aku menatapnya
sekilas. Ia sedang asyik dengan dunianya, memainkan ponselnya itu. Kini aku
mengalihkan pandanganku ke pintu kelas, berharap Jinki segera datang. Lelaki
itu belum menampakkan batang hidungnya sedari tadi. Aku rasa, ia telat. Selalu
seperti itu.
Kini mataku
tertuju kearah Suzy yang sedang tersenyum menatap ponselnya. Sepertinya ia
sedang mengirimkan pesan singkat untuk kekasihnya yang memang beda universitas
dengan kami. Di samping Suzy, Sohee dan Sulli asyik membahas komik yang baru
mereka baca. Di sisi lain, Luna, Krystal dan Min sibuk sendiri. Mereka asyik
bergosip sepertinya.
“Hash!” Aku
menghela napas seraya membenamkan wajahku diantara lekukan tanganku diatas
meja. Bosan. Apa karena tak ada Jinki disini? Entahlah.
“Kau kenapa,
Gwe?” Tanya Minho seraya menatapku kemudian ia mengalihkan pandangannya menatap
ponselnya itu. Lelaki ini, terlalu asyik dengan dunianya.
“Ngantuk.” Jawabku singkat.
“Kau tidur terlalu larut, ya?”
“Yeah! Seperti biasa, aku insomnia.”
“Hei, perempuan tidur terlalu malam itu tak baik.” Ia mengacak rambutku
sesaat.
DEG! Desiran
aneh apa ini yang menggelayutiku? Ia masih mengacak rambutku kemudian ia
tersenyum manis padaku. Ada apa dengan lelaki jangkung ini? Aku melepaskan
tangannya yang masih berada di kepalaku.
“Terimakasih, atas nasehatmu, Minho-ah.”
Tak berapa
lama, beberapa anak memasuki kelas ini. Kemudian mencari tempat duduk. Jinki
memilih duduk dibelakangku bersama Yoseob dan YongHwa.
Seorang
perempuan paruh baya memasuki kelas kami dengan riang, dengan gerakan cepat ia
memulai mengajarkan kami. Menyuruh kami membuat sketsa tentang sebuah kotak
yang di modifikasi. Kemudian diaplikasikan di gips yang berukuran 40x40cm.
“Gwe, bagaimana jika nanti kita mengerjakan tugas ini dirumahmu. Seperti
biasa.” Ajak Yoseob.
“Iya, Gwe. Jam 4 ya?” Ujar Gikwang yang sedang asyik dengan sketsanya.
“Iya. Terserah kalian saja.” Jawabku tanpa menoleh kearah mereka.
“Memangnya rumahmu
dimana, Gwe?” Tanya Minho seraya menatapku. Ia memang tak pernah mengerjakan
tugas di tempatku. Ia lebih senang dengan dunianya, atau dengan komunitas motor
yang diikutinya.
“Dekat sini. Daerah XY street.”
“Ooh. Tidak terlalu jauh.”
“Iya. Apa kau
mau ikut mengerjakan tugas bersama?” Tanyaku seraya menatapmu.
“Entahlah.
Nanti kau akan aku kabari.” Ia melanjutkan menggambar sketsanya.
“Sudahlah, Minho-ah. Ikut saja. Kau jarang
berkumpul bersama kami.” Jinki menepuk bahunya pelan. “Ya ‘kan, Gwe?” Kini ia
menatapku seraya tersenyum manis padaku.
“Ah ya.” Jawabku gugup.
Kami
melanjutkan sketsa kami kembali, tentu saja dengan tetap bergurau. Kami memang
suka mengerjakan tugas dengan mengobrol atau sekedar mendengarkan musik.
Terkadang ini yang membuat kami betah berada di kampus. Bisa bersama seperti
ini.
***
Tak terasa,
sudah lima bulan kami menjadi mahasiswa. Dan sudah dua bulan pula aku dekat
dengan Jinki, walau hanya sebatas teman. Sejujurnya, aku ingin lebih dari
sekedar teman. Namun, sayangnya aku tak tahu apa yang aku rasakan sama dengan
yang ia rasakan.
Sampai saat itu
tiba, ketika kami mengerjakan tugas bersama di rumahku. Yoseob sering kali
berbicara tentang Luna, kemudian Jinki akan menanggapinya dengan senyum
malu-malunya. Tanpa perlu aku bertanya, Yoseob menjelaskan semuanya. Jika Jinki
menyukai Luna, dan menginginkan Luna menjadi kekasihnya.
Setelah
mendengarkan penjelasan Yoseob, rasanya aku ingin menghilang. Aku sudah tidak
bersemangat menjelaskan tugas, pikiranku melayang. Sedih. Marah. Semua
bercampur menjadi satu.
Dan yang paling
menyedihkan adalah ketika Jinki terang-terangan cerita padaku, jika ia menyukai
Luna. Dan meminta bantuanku untuk membuatnya dekat dengan Luna. Aku dan Luna
memang dekat, walau tidak sedekat dengan Suzy. Itupun karena ketidak sengajaan,
kami menjadi satu kelompok dalam salah satu mata kuliah, yang membuat kami
selalu berkumpul untuk mengerjakan tugas tersebut.
Aku ingin
menolak Jinki untuk membuatnya dekat dengan Luna. Tetapi, aku tak ingin membuat
Jinki sedih hanya karena hal ini. Bukankah melihat seseorang yang dicintai
bahagia itu menyenangkan? Hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya,
membantunya.
***
“Gwe, apa kau ikut ke pameran?” Tanya Jinki
saat kami sedang di kelas. Angkatan kami memang disuruh membuat pameran di
salah satu Mall yang ada di kota ini.
Sejenak, aku diam. Sesungguhnya aku tidak ingin
kemana-mana, aku ingin rebahan di kasur. Tetapi melihat senyum Jinki membuatku
berpikir ulang, untuk ikut ke pameran itu. Setidaknya menghilangkan jenuhku.
Dongwoon menyenggol lenganku
pelan, membuyarkan semua lamunanku. “Ikut aja yuk, Gwe.”
Aku tersenyum ke arah mereka
berdua, “boleh deh. Jam berapa kesananya?”
“Jam 4. Nanti kami akan
menjemputmu. Kau tenang saja.” Jinki tersenyum manis padaku.
“Gwe, baik yuk!” Ajak Suzy, ia menarik
tanganku. “Kami balik duluan, ya.” Ujarnya ke Jinki dan Dongwoon.
Tepat jam 4 sore, Jinki dan Dongwoon
menjemputku. Dan kami segera menuju Mall tempat diadakannya pameran itu. Tapi
belum ada separuh jalan dari rumahku, Jinki bertanya sesuatu yang membuatku
ingin marah.
“Gwe, apa kau tak memberitahu Luna, jika kami
akan ke tempat pameran? Mungkin saja ia mau ingin ikut. Bukankah rumahnya tak
jauh dari kampus juga?”
Aku diam beberapa detik. Tiba-tiba
saja pikiranku tak menentu.
“Gwe…” Panggilnya lagi.
“Ah.. Ya, aku mengirimkan pesan singkat dulu
padanya.” Dengan malas aku segera mengirimkan pesan singkat pada Luna.
“Katanya, dia kesana bersama temannya. Tapi, pulangnya ia ingin bersama kita.”
Kataku pelan ketika memberitahu tentang Luna. Rasanya saat itu aku ingin
menangis.
“Hmm.. Oke deh. Kita langsung ke
sana aja.”
***
Selesai pameran, kami langsung balik pulang.
Kali ini kami tak bertiga lagi tetapi berempat, karena ada Luna bersama kami.
Seketika suasana menjadi hening. Kami bingung ingin bercerita apa, aku yang
biasanya banyak bicara, kini hanya diam. Terutama Jinki.
“Makan, yuk?” Ujar Dongwoon memecah kesunyian
dalam mobil. Terlihat jika ia tak suka dengan suasana seperti ini.
“Boleh. Dimana? Ah.. Aku lapar.”
Tanya Jinki gelagapan. Terlihat jika ia gugup.
“Gweboon, Luna, apa kalian juga lapar?” Tanya
Dongwoon memutar setengah tubuhnya ke belakang untuk bertanya pada kami. Kami
hanya menganggukkan kepala. “Jadi, mau makan dimana nih?” Tanyanya lagi.
“Terserah ajalah. Aku ngikut
aja.” Jawabku datar, sebenarnya aku tidak terlalu lapar.
“Ddukbokkie aja,
gimana?” Tanya Jinki.
“Boleh.” Jawab kami bertiga
serempak.
***
Selesai makan, kamipun segera pulang. Tapi kami
mengantarkan Dongwoon terlebih dahulu. Karena rumahnya tidak di daerah kampus,
seperti kami bertiga. Hal itu membuat Jinki duduk sendirian di depan.
“Gwe, duduk di depan gih.”
Dongwoon menyuruhku untuk duduk di depan.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, “Lun, kamu
duduk di depan aja, yah? Aku lebih suka duduk di belakang.” Ujarku berbohong.
Sebenarnya aku ingin duduk di depan menemani Jinki, tapi tubuhku seolah menolak
untuk beranjak dari kursi belakang.
Akhirnya Luna mengalah dan duduk
di depan menemani Jinki.
Selama perjalanan, Jinki hanya mengajak Luna
berbicara. Seolah melupakanku. Aku hanya menatap jalan di balik jendela mobil.
Rasanya aku ingin nangis saat ini juga. Sikap Jinki berbeda saat ia menemaniku
untuk menunggu Jonghyun oppa, kala itu.
Tanpa sadar, mobil inipun
berhenti. Aku membetulkan dudukku, menatap sekitar.
“Akhirnya sampai juga. Jinki-ssi,
gamsahamnida.” Luna menundukkan kepalanya seraya mengucapkan terimakasih. Ia
segera keluar dari mobil kemudian membuka pintu belakang. “Bonnie, sekarang
giliranmu duduk di depan.” Ucapnya.
Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala.
Kemudian pindah ke depan. “Kami balik dulu ya, Luna. Selamat beristirahat.”
Ucapku seraya berpamitan padanya.
Kini, hanya aku dan Jinki yang ada di dalam
mobil. Suasana kembali hening. Aku sungguh tak suka dengan suasana seperti ini.
Ingin rasanya mengajak Jinki berbicara tapi pikiranku tak sejalan dengan
keinginanku. Aku hanya menikmati keheningan ini.
“Gwe.. mengapa tadi kau hanya
diam saja?” Tanya Jinki memecah kesunyian diantara kami.
“Hmm.. Tidak apa-apa, Jinki-ssi. Aku hanya
mengantuk.” Jawabku dengan malas. Aku yang biasanya memakai banmal
jika berbicara dengannya, kini menjadi formal. Aku suntuk dengan keadaan
seperti ini.
Ia menatapku sekilas, mengacak rambutku.
Kemudian fokus lagi untuk menyetir, “kau jangan berbohong padaku, Gwe.”
“Aku tidak berbohong. Ah,
sudahlah.”
“Gwe..” Ucapnya tertahan. Aku dapat mendengar
hembusan nafasnya yang berat. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Bolehlah. Katakan saja.”
“Hmm.. Menurutmu Luna itu seperti apa? Aku rasa
kamu mengetahui tentang Luna. Aku lihat beberapa hari ini kau dekat dengannya.”
Tanya Jinki seraya tersenyum manis padaku.
Hening. Aku tak tahu harus menjawab apa. Lagi.
Rasanya aku ingin marah, ingin teriak, ingin menangis sekencang mungkin.
Mengapa Jinki harus bertanya tentang Luna padaku? Apakah ia tak tahu, jika aku
menyukainya?
“Gwe..? Apa kau baik-baik saja?”
Tanyanya khawatir.
“Ah.. Aku baik-baik saja. Tadi kau bertanya
apa? Mianhae, aku tidak mendengarkanmu.” Jawabku gugup.
“Gwaenchana.. Aku hanya bertanya,
menurutmu Luna itu seperti apa?” Ia mengeulang kembali pertanyaannya, karena
sesaat tadi aku tak menjawabnya.
“Luna.. Dia itu baik, menyenangkan jika
berbicara dengannya karena ia mengetahui banyak hal. Dia juga lucu dan
menggemaskan. Ada apa, Jinki-ssi?” Tanyaku hati-hati.
“Ah.. Tidak apa-apa, Gwe.”
“Apa kau menyukainya?” Kali ini suaraku seperti
tertahan. Berat rasanya harus bertanya seperti ini, tapi aku ingin
mengetahuinya.
“Entahlah. Tapi aku senang melihatnya tertawa,
aku merasa nyaman berada di dekatnya.” Jawabnya tenang.
“Kalau seperti itu, dekati dia, Jinki-ssi.
Jika tidak, dia takkan tahu perasaanmu padanya.” Aku mencoba menyemangatinya
walau hati ini terasa perih.
“Aku inginnya seperti itu, Gwe. Tetapi, aku
ingin mengetahui tentangnya dulu. Apa kau mau membantuku, Gwe?” Tangan kanannya
memegang tangan kiriku seraya tersenyum manis padaku.
“Baiklah. Aku akan membantumu
sebisaku.”
Mengapa aku tak bisa menolaknya? Aku rasa
beberapa menit lagi, air dari mataku akan keluar. Rasanya aku ingin cepat
sampai rumah dan meluapkan segalanya.
Jinki, andai kau tahu apa yang kau rasakan.
Perih saat kau memintaku untuk membantumu mendekatinya. Berat rasanya
mengiyakan permintaanmu. Aku harap, suatu saat kau akan mengerti tentang rasa
yang aku ciptakan untukmu.
***
Kelas masih
sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang baru datang. Aku duduk di bangku
seperti biasa, tempat yang dekat dengan jendela. Aku meletakkan tanganku diatas
meja, kemudian meletakkan kepala diatasnya seraya tertidur.
Aku menatap
Minho yang datang dengan tergesa-gesa. Ia memakai kaos abu-abu polos dan jeans hitam. Tas ransel besar yang dibawanya, menarik
perhatianku. Dia meletakkan tasnya di meja tepat disampingku kemudian ia
langsung duduk di sebelahku.
“Kau membawa
apa, Minho-ssi? Sepertinya tasmu
berat. Bukankah mata kuliah kita hari ini hanya menggmbar?” Tanyaku keheranan.
“Aku bawa
kamera, Gwe. Habis kuliah ini aku akan mengikuti lomba foto. Dan juga bawa
laptop untuk mengeditnya nanti.”
“Ooh. Pantas saja terlihat berat.”
“Hehe. Begitulah.” Ia tersenyum kearahku seraya mengacak rambutku.
DEG! Mengapa
jantungku berdebar lebih hebat? Minho masih mangacak-acak rambutku. Iapun masih
menunjukkan senyum manisnya itu. Ah.. tapi tetap saja masih manisan senyumnya
Jinki.
Ia melepaskan tangannya dari rambutku. Kemudian asyik dengan laptopnya.
Tak berapa
lama, dosennya pun datang, Mrs. Park. Mahasiswa yang sebelumnya masih di luar,
kini berhamburan untuk masuk. Posisi tempat duduk masih sama seperti biasanya.
Ada Jinki di belakangku, bersama Yoseob dan Yonghwa.
“Gwe..” Bisik Jinki.
Aku menolehkan
ke belakang, untuk melihatnya. Walau sebenarnya aku malas melihat wajahnya,
karena akan mengingatkanku pada kejadian kala itu. “Ada apa, Jinki-ssi?”
Aku
memperhatikan wajahnya, bahkan ia tak peduli jika aku berbicara formal padanya.
Biasanya ia akan marah atau mengeluh padaku jika aku berbicara formal.
Ia menyunggingkan
senyumnya padaku. “Sepulang kuliah nanti, aku ingin berbicara padamu. Kau
pulang denganku saja ya, Gwe?”
“Mengapa tidak dibicarain disini saja?”
“Tidak bisa. Ini privacy.”
Elaknya.
“Baiklah. Aku
mengerti.” Aku membalikkan tubuhku ke posisi semula. Aku rasa hal yang ingin ia
bicarakan itu adalah Luna. Selalu perempuan itu.
***
“Gwe. Yuk.”
Ajaknya. Ia memakai ransel kesayangannya dan segera mengajakku untuk keluar
dari kelas.
“Kita mau kemana, Jinki-ssi?”
Tanyaku ketika kami berjalan beriringan menuju parkiran.
“Molla.” Jawabnya cuek.
Ia segera masuk
mobil, dan aku menyusulnya. Kami berlalu begitu saja meninggalkan kampus dan
pergi tanpa tujuan yang tak jelas.
Hening. Suasana
seperti ini selalu terjadi diantara aku dan Jinki, terlebih ketika Jinki
menceritakan semua tentang Luna. Biasanya aku selalu cerita banyak dan ia
selalu menanggapinya. Membuat suasana menyenangkan tetapi tidak dengan
saat-saat ini.
“Gwe..” Ucapnya mengusir kesunyian.
“Iya?”
“Hmm.. Kita ke
kedai es krim, yuk? Apa kau mau?” Tanyanya. “kau kan suka sekali dengan es
krim.” Lanjutnya seraya tersenyum padaku.
“Boleh. Terserah kau saja, Jinki-ssi.”
Tak berapa
lama, kami sampai di kedai es krim yang menjadi tempat favorite kami. Tempatnya
cukup sejuk dengan beberapa pohon yang tumbuh di dekatnya. Kami memilih tempat
di bawah paying di sisi luar kedai es krim tersebut. Kedai ini selalu ramai
pengunjung.
Seorang pelayan
memberikan kami menu untuk memilih es krim yang kami inginkan. Setelahnya ia
segera berlalu.
Tak perlu menunggu waktu yang cukup lama, es krim pesanan kami telah
datang. Banana split.
“Gimana, Gwe? Enak?” Tanya Jinki sembari menunjukkan gigi kelincinya.
“Enak. Es krim
di kedai ini selalu enak. Dapat mengubah nafsu yang badmood menjadi lebih baik. Es krim memang bikin adem, tentram,
damai. Hehe.”
“Hahaha.. ada-ada saja kau, Gwe.” Tawanya.
“Jinki-ssi..
Langsung ke topic utama saja. Kau mengajakku kesini karena ingin membicarakan
hal apa?”
“Aku.. Aku
ingin menyatakan perasaanku pada Luna, Gwe. Aku sering mengirimkan pesan
singkat padanya. Dan sepertinya ia memberiku lampu hijau untuk terus melaju.
Menurutmu, aku harus bagaimana, Gwe?”
Sejenak, aku
hanya diam mematung. Seharusnya aku tahu jika ia mengajakku kesini karena ingin
membicarakan Luna. Tapi, aku tak menyangka jika ia ingin menyatakan perasaannya
ke Luna.
“Gwe..” Panggilnya, tangannya ia ayun-ayunkan di depan wajahku.
“Eh? Hmm..
Kalau kau memang mencintainya dan yakin jika ia pilihan hatimu. Kau segera
menyatakan perasaanmu padanya, sebelum ia dimiliki orang lain. Bukankah ia
sudah memberimu sinyal? Itu tandanya jika ia juga menyukaimu.” Jawabku.
Rasanya aku
ingin menangis. Setegarnya aku, aku tetap saja rapuh. Es krim yang tadi aku
makan dengan semangat kini tak tersentuh sama sekali. Nafsu untuk makan es
krimku telah hilang.
“Begitu ya, Gwe? Baiklah. Aku akan segera menyatakan perasaanku
padanya.”
“Kapan kau akan menyatakan perasaanmu padanya?” Tanyaku ragu.
“Besok. Menurutmu?”
“Terserah kau
saja, Jinki-ssi. Jika kau merasa
lebih cepat lebih baik, ya segera saja kau menyatakannya. Good luck!” Aku malah menyemangatinya untuk menyatakan perasaannya
ke Luna. Bodoh!
“Gomawo, Gwe.” Ia memelukku sekilas kemudian tersenyum manis padaku.
‘Jinki! Hentikan senyumanmu itu.
Senyummu itu hanya membuatku terus berharap.’
“Sama-sama, Jinki-ssi.”
“Hmm.. Mengapa es krimnya tidak kau habiskan?”
“Ah.. Aku kenyang.”
“Ya sudah. Kita pulang saja yuk?” Aku menganggukan kepalaku.
Kami segera
pergi dari sana. Aku ingin segera merebahkan diriku di atas kamar dan menangis
sepuasnya.
***
Sepertinya hari
ini, Jinki sudah menyatakan perasaannya pada Luna. Apakah Luna menerima
cintanya? Molla. Jika memang Luna
yang terbaik untuk Jinki, aku ikhlas. Cukuplah dengan melihatnya bahagia.
Aku memainkan
ponselku menunggu kabar dari Jinki. Biasanya ia akan memberiku kabar jika ada
sesuatu, ia juga berjanji padaku akan memberi kabar jika ia diterima ataupun
tidak oleh Luna. Tapi nyatanya, tak ada pesan masuk sedari tadi. Ah whatever! Lebih baik aku tidur saja,
menenangkan pikiran yang kacau. Aku meletakkan ponselku ke atas nakas.
Ddrrrtt.. Ddrrrtt..
Ponselku
bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Jinki-kah? Aku segera mengambil
ponsel itu dan segera melihat siapa si pengirim pesan singkat. Ternyata bukan dari
Jinki.
From: 최민호 ^^
Gweboon, apa kau sedang di rumah?
To: 최민호 ^^
Iya, Minho-ssi. Ada apa?
From: 최민호 ^^
Aku di depan
rumahmu. Bisakah kau keluar?
To: 최민호 ^^
Baiklah.
Aku tak segera membukakan pintu untuk
Minho, aku malah memandangi pesan yang ia kirimkan padaku. Jujur saja, aku
masih terkejut akan kedatangannya ke rumahku. Pasalnya, ia sama sekali tak pernah mampir ke rumahku walau sekedar
mengerjakan tugas. Tapi kini? Molla.
Aku segera beranjak dari dudukku untuk
menuju ke pintu depan dan membukakannya pintu. Ia sudah berdiri di depan
motornya seraya memainkan ponselnya. Ia mengenakan kaos biru muda dengan hoodie warna biru tua, celana jeans, sneaker. Simpel tapi ia tetap terlihat keren.
Aku menghampiri dan tersenyum padanya.
“Ada apa, Minho-ssi? Tumben kau main
ke tempatku?”
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin mengerjakan tugas bersama. Aku bosan di rumah. Yang
lain?”
“Heh? Mengerjakan tugas? Bahkan aku tak
memikirkannya sama sekali, aku masih malas mengerjakannya. Hehe. Dan yang lain,
mereka tak menghubungiku. Sepertinya mereka tak kesini.”
Kamipun masuk kedalam rumah, ke teras
belakang tentunya. Tempat ternyaman untuk mengerjakan tugas. Ia duduk di
pijakan lantai seraya melihat halaman belakang. Aku duduk disampingnya seraya
memberikan minum.
“Mengapa
liburan seperti ini, kau malah ingin mengerjakan tugas? “ Tanyaku di sela diam
kami.
“Hmm. Aku
hanya ingin mengerjakan saja, Gwe.” Ia mengacak-acak rambutku.
“Kau tidak
berkencan dengan SeoHyun?”
Dia diam
sejenak kemudian melanjutkan pembicaraannya, “tidak. Aku sudah putus
dengannya.”
“Eh? Sejak
kapan? Bukankah kalian terlihat serasi dan kompak.”
“Sejak 3 bulan yang lalu, Gwe. Ya sudah,
jangan dibahas. Kita kerjakan tugas saja.” Ia membalikkan badannya dan
mengeluarkan barang-barang yang dibawanya. “Oya, Gwe. Ini untukmu.” Ia
menyerahkan 3 buah papan yang berukuran 20cmx20cm padaku.
“Buatku?
Beneran?”
“Tentu saja.
Aku tahu, kau pasti belum membelinya, kan?”
“Hehe. Kau
benar. Terimakasih ya, Minho-ssi.”
“Kau ini,
bisakah tidak berbicara formal padaku?”
“Tentu saja, Minho-ah. Hehe”
Setidaknya malam ini aku tak kesepian, ada
Minho disisiku. Kami bercanda, tertawa seraya mengerjakan tugas. Sejenak aku
dapat melupakan bayangan Jinki yang tengah menyatakan perasaannya pada Luna.
***
Aku mendengar kabar dari Dongwoon, jika
Luna tak menerima cinta Jinki. Ternyata Luna hanya menganggap Jinki layaknya
seorang kakak, tak lebih. Hanya saja, Jinki mengartikan perhatian Luna sebagai
rasa suka. Sebenarnya Luna mencintai
Jinwoon, lelaki yang selalu aktif dalam segala bidang.
Aku tak mengerti dengan perasaanku, antara
senang juga sedih. Rasanya aku ingin menghibur Jinki. Karena aku tahu jika
Jinki sangat menyayangi Luna, tapi mau gimana lagi. Cinta tak bisa dipaksakan.
Seperti cintaku ke dia yang bertepuk sebelah tangan.
***
Tak terasa, kini kami sudah semester 3.
Sudah tak ada lagi tugas-tugas yang menghasruskan kami membuat sesuatu dengan
sekreatif mungkin, seperti dulu. Karena mata kuliah di semester ini, mulai
fokus ke Desain Grafis.
Entah mengapa, aku dan Jinki tak seakrab
dulu. Seperti ada jarak diantara kami berdua. Walau kami masih sering
berkomunikasi tapi itu semua tak sesering dahulu. Di kelaspun, kami jarang
berbicara jika tak ada topic yang kami sukai. Semua terasa berbeda, tak lagi
sama seperti dulu.
Jinki menjauh, Minho mendekat. Ya, kini
aku dan Minho semakin dekat. Yah, walau tak sebahagia jika berada di dekat
Jinki Tapi Minho selalu ada buat aku, selalu menghiburku di kala aku sedih.
Dan aku merasa nyaman jika berada di dekat
Minho. Sepertinya aku mulai menyayangi lelaki ini, bukan cinta. Karena aku
masih mencintai Jinki.
***
Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo
Aku mengambil ponselku yang tertimbun
diantara bantalku. Deringnya terus saja berbunyi. Aku segera mengangkatnya.
“Anyeong..”
“Anyeong.. Gwe, kau lagi apa? Kita keluar yuk,
menikmati udara malam kota Seoul.”
“Hmm.. Boleh
deh. Kau kesini jam berapa, Minho-ah?”
“Kebetulan sekali. Aku sudah menunggumu sedari tadi di
depan rumahmu.”
“What? Baiklah, aku ganti baju dulu.”
Minho selalu membuat kejutan yang tak
pernah kuduga sebelumnya. Ia selalu datang tanpa ku minta. Setelah berganti
pakaian, aku segera menghampirinya di luar. Ia terlihat rapi dengan pakaian
simpel yang selalu ia gunakan.
“Apa kau sudah
siap, Gwe?”
“Tentu saja.”
“Ayo naik,
kita bergembala menaiki roda dua berkeliling Seoul. Oke, tuan putri Gweboon.”
“Haha.. Apaan
sih, Minho-ah.” Akupun segera menaiki
motornya.
Kamipun segera berlalu dari sini. Ia
mengajakku menikmati malam di Seoul. Ia mengarahkan motornya ke daerah Namsan
Tower. Tempat berkumpulnya para remaja dan juga dewasa untuk menikmati malam Seoul
dari atas ketinggian.
Ia mengajakku ke daerah gembok cinta.
Mulai menuliskan keinginan di genbok itu kemudian menguncinya dan membuang
kunci itu. Banyak yang percaya jika menuliskan harapan di gembok bersama
kekasih tercinta kemudian kuncinya di buang ke tempat yang jauh maka hubungan
yang telah di bina akan bertahan lama.
Andai Jinki ada disini, aku pasti senang
dan akan mengajaknya untuk menulis janji tentang cinta kami. Namun sayang,
semua hanya harapanku saja.
Jam 9 malam, kami memutuskan untuk balik
ke rumah. Tapi di tengah perjalanan, hujan turun membasahi kota Seoul. Rintik
itu kini berubah menjadi air yang semakin deras mengalir. Kami memutuskan untuk
berteduh di salah satu ruko yang tak jauh dari sana untuk menghindar dari hujan
ini. Udara yang cukup dingin untuk malam ini.
Tiba-tiba Minho merangkulku, mengusap
lembut rambutku. Sedikit hangat namun damai. Aku merasa nyaman dengan suasana
seperti ini. Aku ingin terus seperti ini. Tanpa terasa air mataku menetes.
Minho masih terus merangkulku. Erat. Ia
tahu jika aku kedinginan, makanya ia membiarkan tangan besarnya untuk
merangkulku. Tanpa aku pinta, tanganku memeluk pinggangnya, menelusupkan
kepalaku di dadanya. Hangat.
Tanpa ia sadari, aku menangis dalam
pelukannya. Aku tak ingin ia mengetahui jika aku menangis. Ia membalas
pelukanku, menenangkanku.
“Gwe, apa kau
masih kedinginan?” Tanyanya seraya memelukku lebih erat.
“Ne, Minho-ah. Dingin sekali.”
Selama hamper satu jam, kami terus saling
berpelukan. Kami tak peduli dengan orang-orang yang tadi sempat melihat kami.
Hujan mulai berhenti, menyisakan genangan air dan juga rintik-rintik kecil.
“Gwe, kita pulang ya? Malam semakin
larut.” Minho melepaskan pelukannya. “Tapi kau tak apa-apa, kan?”
“Gwenchana, kita terobos saja rintik
hujan ini.” Kataku.
“Ya sudah,
naiklah.”
Kami segera pulang, tak peduli dengan
hujan yang masih rintik. Selama di perjalanan, kami hanya diam menikmati udara
malam yang dingin karena hujan. Aku tahu, kami sama-sama kedinginan.
Tiba-tiba tangannya Minho memegang
tanganku dan melingkarkan ke perutnya. Aku tersenyum, seolah mengerti
maksudnya. Akupun meletakkan tanganku yang satunya ke perutnya. Ya, aku
memeluknya dari belakang. Dia tahu, aku masih kedinginan. Tubuhnya terasa
hangat.
“Gwe, sudah
sampai.” Ucapnya menyadarkanku.
“Akhirnya.
Untung rintik hujannya berhenti ya?” Aku segera turun dari motornya.
Minho menatapku tajam, “Gwe, wajahmu
pucat. Masuklah kemudian tidur.” Ia memegang keningku, “dan lagi, badanmu
hangat, Gwe. Istirahatlah.”
Aku menganggukan
kepalaku. “Baiklah. Gomawo, Minho-ah.”
Aku masuk ke dalam rumah. Sepi. Sepertinya
Jonghyun Oppa masih asyik berlatih
music di studio. Aku segera menuju kamarku, kemudian mengganti pakaianku yang
basah. Dan merebahkan diriku ke tempat tidur. Aku mengingat kejadian tadi, saat
Minho memelukku. Mencoba melindungiku agar aku tak kedinginan. Aku ingin Jinki
yang melakukan seperti tadi. Aku juga ingat saat Minho menyentuh keningku. Sama
persis seperti yang di lakukan Jinki padaku.
Argh! Aku merindukan Jinki. Apa yang ia
lakukan kini? Baik-baik sajakah dia? Aku menuju meja belajarku. Mulai membuat
gambar wajahnya Jinki. Orang yang selalu aku rindukan.
Kepalaku
mendadak pusing, badanku semakin terasa panas.
“Hachiimm.. hachiimm..
hachiimm..” Ah! Sepertinya aku
terkena flu.
Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo
Aku mengambil ponselku. Dan segera
mengangkat telepon yang sedari tadi berbunyi. Berat rasanya menuju tempat tidur.
“Anyeong..”
“Gwe, kau tak apa-apa?”
“Aku baik-baik
saja, Minho-ah.”
“Jangan berbohong padaku, Gwe.”
“Hmm.. aku
hanya pusing saja. Tapi aku sudah minum obat, kok.”
“Aku kesana sekarang.”
“Tapi,
Minho-ah, aku baik…”
Rupanya sambungan telepon sudah diputus
terlebih dahulu oleh Minho. Aku tak mau membuat Minho khawatir. Aku segera
menelpon Jonghyun oppa.
“Anyeong, oppa.. oediga?”
“Oppa masih di studio, besok ada pentas. Jadi, oppa harus berlatih. Waeyo, Boonie?”
“Ah, tak
apa-apa, oppa.”
“Kau sakit?”
“Hanya flu.
Tadi aku kehujanan.”
“Ya sudah, sebentar lagi oppa balik. Tunggu ya, Boonie.”
“Arasso, oppa.”
Aku menutup teleponnya dan berbaring di
atas tempat tidur. Kepalaku rasanya semakin pusing. Badankupun semakin panas.
Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo
Ponsel di genggamanku kembali bordering.
Aku melihat namanya di layar. Minho. Aku segera mengangkatnya.
“Annyeong, Minho-ah.”
“Aku di depan rumahmu, Gwe.”
“Aku ke sana.”
Minho begitu cepat sampai di rumahku,
padahal jarak rumah kami lumayan jauh. Kurang lebih setengah jam jika
menggunakan motor. Aku segera ke depan dan membukakan pintu.
“Cepat sekali kau sampai, Minho-ah?
Bukankah rumah kita lumayan jauh?” Ia tak menjawab pertanyaanku, ia asyik
memasukkan motornya ke garasi.
Dengan sigap
ia menyentuh keningku kembali, “panas.” Ucapnya.
“Hachiimm.. hachiimm..
hachiimm..” Kepalaku semakin pusing dan pandanganku mulai
kabur.
Brug!
“Heh? Gwe! Gwe!”
Samar, aku mendengar Minho meneriaki namaku kemudian menggendongku dan
membawaku ke kamar. Merebahkan ke tempat tidur dan menyelimutiku.
Sepertinya aku
tertidur cukup lama. Aku menatap sekeliling kamarku, aku tak menemukan Minho.
Mungkin ia sudah pulang.
Tiba-tiba pintu
kamarku terbuka. Muncul Minho dengan membawa nampan yang berisi bubur dan
segelas air putih.
“Rupanya kau sudah bangun, Gwe.”
“Iya. Kau darimana, Minho-ah?”
“Dari dapur.
Aku membuatkan bubur untukmu. Ayo di makan.”
“Aku tak mau.
Aku tak nafsu makan.”
“Ayolah. Habis itu minum obatnya.” Ia
meniupi bubur yang panas itu kemudian mendekatkannya ke mulutku.
Aku
menggelengkan kepalaku. “Aku tak mau, Minho-ah.”
“Kau tak menghargai usahaku, yang telah
membuatkan bubur ini untukmu, Gwe.” Kemudian ia meletakkan bubur itu ke meja
nakas.
“Baiklah. Aku
akan memakannya.” Ucapku pada akhirnya.
“Nah, gitu
dong!” Ia kembali menyuapiku.
Setelah bubur habis, ia memberiku obat.
Kemudian merebahkanku kembali dan menyelimutiku. Minho begitu perhatian padaku.
Aku tak menyangka, seseorang yang playboy
ini bisa seperhatian ini pada temannya. Dan aku merasa nyaman dengan semua ini.
“Ya sudah, sekarang kau istirahat ya?” Ia
mengelus rambutku dengan lembut.
Aku
menggenggam tangannya kemudian memejamkan mata.
“Selamat
tidur, cantik.”
Jam 4 pagi, aku terbangun. Kepalaku terasa
pusing. Aku mendapati Minho yang tertidur di samping tempat tidurku, tangannya
masih menggenggam tanganku. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Membelai
rambutnya dan menggenggam tangannya lebih erat.
“Andai kamu Jinki, Minho-ah.”
.
.
.
- to be continued -
.
.
.
.
- to be continued -
No comments:
Post a Comment