16.2.13

Just a Hope / SHINee / Chapter 2 of 3


Title                      : Just a Hope
Author                  : diaonyou
Cast                      : Lee Jinki, Kim Gweboon, Choi Minho, dll.
Genre                   : Dibaca sampai selesai sajalah ya :)
Length                  : Chapter 2 of 3
Rate                      : PG/T
Backsound       : Karena FF ini remake, jadi lagu disini memakai lagu Indonesia bukan lagu   mereka. Mau pakai lagu mereka, tetapi tak ada yang pas dengan suasana disini. Hehe. Peace ^^v
Disclaim               : SHINee bukan milik saya, tapi milik DIA, orangtua mereka juga SHAWOL. Tapi cerita ini mengalir dari kepala saya.
Warning              :TYPO(S). Satu part lagi tamat nih. Hihi..





Hari demi hari, aku lalui dengan senang terlebih ada Jinki di dekatku. Walau hubungan kami hanya sebatas teman, tapi itu sudah membuatkan bahagia. Kami selalu bersama mengerjakan tugas ataupun sekedar berjalan-jalan.

Aku memang mencintainya, semenjak pertama kali aku melihatnya dia test TOEFL. Mungkin, ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama. Entahlah. Tapi aku nyaman dengan rasa yang aku miliki ini.

Jangan pernah bertanya padaku, mengapa aku bisa mencintainya. Karena aku pun tak mengetahui apa jawaban dari rasa suka ini. Yang aku tahu, saat aku di dekatnya, jantungku berdegup tak karuan.

***

Aku melangkahkan kakiku dengan gontai menuju anak tangga. Jujur, aku malas jika melewati senior-senior yang berlalu lalang di sekitar tangga. Mereka masih memandang kami, seolah mengejek dan ingin menerkam. Bahkan, ini sudah empat bulan kami menginjakkan kaki di kampus ini. Tetapi, mereka tak menganggap kami ada atau jadi bagian dari kampus ini.

“Gwe...” Seseorang menepuk pundakku pelan. Aku menyunggingkan senyumku padanya. “Mengapa kau berjalan sambil bengong seperti ini, sih?”

“Ah. Tak apa-apa.” Jawabku cepat.

“Kalau begitu, ke kelas bareng yuk?” Ia melangkahkan kakinya menyusuri anak tangga, aku segera menyusulnya.

Aku menghembuskan napasku berat. Sial! Bahkan hanya ini hanya lantai 3, tapi mengapa aku seperti menapaki 6 lantai seperti ini. Lelah.

Aku segera memasuki kelas kami. Aku segera duduk dibangku kesukaanku itu. Meletakkan tas di atas meja dan duduk dengan malas. Seseorang yang tadi menyapaku, melakukan hal yang sama denganku. Ia duduk tepat di sampingku.

Minho. Orang yang duduk di sebelahku ini, susah ditebak. Terkadang ia bisa baik, tapi terkadang dia masa bodoh dan tak peduli. Banyak yang suka dengan lelaki ini. Dan ia terkenal sebagai playboy, sudah beberapa kali ia ganti pasangan. Alasannya sih, karena belum ada yang memenuhi kriterianya. Ia selalu sibuk dengan gadget-nya. Ia tak pernah melepaskan, ponselnya kemanapun ia pergi. Benda itu selalu dibawanya.

Aku menatapnya sekilas. Ia sedang asyik dengan dunianya, memainkan ponselnya itu. Kini aku mengalihkan pandanganku ke pintu kelas, berharap Jinki segera datang. Lelaki itu belum menampakkan batang hidungnya sedari tadi. Aku rasa, ia telat. Selalu seperti itu.

Kini mataku tertuju kearah Suzy yang sedang tersenyum menatap ponselnya. Sepertinya ia sedang mengirimkan pesan singkat untuk kekasihnya yang memang beda universitas dengan kami. Di samping Suzy, Sohee dan Sulli asyik membahas komik yang baru mereka baca. Di sisi lain, Luna, Krystal dan Min sibuk sendiri. Mereka asyik bergosip sepertinya.

“Hash!” Aku menghela napas seraya membenamkan wajahku diantara lekukan tanganku diatas meja. Bosan. Apa karena tak ada Jinki disini? Entahlah.

“Kau kenapa, Gwe?” Tanya Minho seraya menatapku kemudian ia mengalihkan pandangannya menatap ponselnya itu. Lelaki ini, terlalu asyik dengan dunianya.

“Ngantuk.” Jawabku singkat.

“Kau tidur terlalu larut, ya?”

“Yeah! Seperti biasa, aku insomnia.”

“Hei, perempuan tidur terlalu malam itu tak baik.” Ia mengacak rambutku sesaat.

DEG! Desiran aneh apa ini yang menggelayutiku? Ia masih mengacak rambutku kemudian ia tersenyum manis padaku. Ada apa dengan lelaki jangkung ini? Aku melepaskan tangannya yang masih berada di kepalaku.

“Terimakasih, atas nasehatmu, Minho-ah.”

Tak berapa lama, beberapa anak memasuki kelas ini. Kemudian mencari tempat duduk. Jinki memilih duduk dibelakangku bersama Yoseob dan YongHwa.

Seorang perempuan paruh baya memasuki kelas kami dengan riang, dengan gerakan cepat ia memulai mengajarkan kami. Menyuruh kami membuat sketsa tentang sebuah kotak yang di modifikasi. Kemudian diaplikasikan di gips yang berukuran 40x40cm.

“Gwe, bagaimana jika nanti kita mengerjakan tugas ini dirumahmu. Seperti biasa.” Ajak Yoseob.

“Iya, Gwe. Jam 4 ya?” Ujar Gikwang yang sedang asyik dengan sketsanya.

“Iya. Terserah kalian saja.” Jawabku tanpa menoleh kearah mereka.

“Memangnya rumahmu dimana, Gwe?” Tanya Minho seraya menatapku. Ia memang tak pernah mengerjakan tugas di tempatku. Ia lebih senang dengan dunianya, atau dengan komunitas motor yang diikutinya.

“Dekat sini. Daerah XY street.”

“Ooh. Tidak terlalu jauh.”

“Iya. Apa kau mau ikut mengerjakan tugas bersama?” Tanyaku seraya menatapmu.
“Entahlah. Nanti kau akan aku kabari.” Ia melanjutkan menggambar sketsanya.

“Sudahlah, Minho-ah. Ikut saja. Kau jarang berkumpul bersama kami.” Jinki menepuk bahunya pelan. “Ya ‘kan, Gwe?” Kini ia menatapku seraya tersenyum manis padaku.

“Ah ya.” Jawabku gugup.

Kami melanjutkan sketsa kami kembali, tentu saja dengan tetap bergurau. Kami memang suka mengerjakan tugas dengan mengobrol atau sekedar mendengarkan musik. Terkadang ini yang membuat kami betah berada di kampus. Bisa bersama seperti ini.

***

Tak terasa, sudah lima bulan kami menjadi mahasiswa. Dan sudah dua bulan pula aku dekat dengan Jinki, walau hanya sebatas teman. Sejujurnya, aku ingin lebih dari sekedar teman. Namun, sayangnya aku tak tahu apa yang aku rasakan sama dengan yang ia rasakan.

Sampai saat itu tiba, ketika kami mengerjakan tugas bersama di rumahku. Yoseob sering kali berbicara tentang Luna, kemudian Jinki akan menanggapinya dengan senyum malu-malunya. Tanpa perlu aku bertanya, Yoseob menjelaskan semuanya. Jika Jinki menyukai Luna, dan menginginkan Luna menjadi kekasihnya.

Setelah mendengarkan penjelasan Yoseob, rasanya aku ingin menghilang. Aku sudah tidak bersemangat menjelaskan tugas, pikiranku melayang. Sedih. Marah. Semua bercampur menjadi satu.

Dan yang paling menyedihkan adalah ketika Jinki terang-terangan cerita padaku, jika ia menyukai Luna. Dan meminta bantuanku untuk membuatnya dekat dengan Luna. Aku dan Luna memang dekat, walau tidak sedekat dengan Suzy. Itupun karena ketidak sengajaan, kami menjadi satu kelompok dalam salah satu mata kuliah, yang membuat kami selalu berkumpul untuk mengerjakan tugas tersebut.

Aku ingin menolak Jinki untuk membuatnya dekat dengan Luna. Tetapi, aku tak ingin membuat Jinki sedih hanya karena hal ini. Bukankah melihat seseorang yang dicintai bahagia itu menyenangkan? Hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya, membantunya.

***

“Gwe, apa kau ikut ke pameran?” Tanya Jinki saat kami sedang di kelas. Angkatan kami memang disuruh membuat pameran di salah satu Mall yang ada di kota ini.

Sejenak, aku diam. Sesungguhnya aku tidak ingin kemana-mana, aku ingin rebahan di kasur. Tetapi melihat senyum Jinki membuatku berpikir ulang, untuk ikut ke pameran itu. Setidaknya menghilangkan jenuhku.

Dongwoon menyenggol lenganku pelan, membuyarkan semua lamunanku. “Ikut aja yuk, Gwe.”

Aku tersenyum ke arah mereka berdua, “boleh deh. Jam berapa kesananya?”

“Jam 4. Nanti kami akan menjemputmu. Kau tenang saja.” Jinki tersenyum manis padaku.

“Gwe, baik yuk!” Ajak Suzy, ia menarik tanganku. “Kami balik duluan, ya.” Ujarnya ke Jinki dan Dongwoon.

Tepat jam 4 sore, Jinki dan Dongwoon menjemputku. Dan kami segera menuju Mall tempat diadakannya pameran itu. Tapi belum ada separuh jalan dari rumahku, Jinki bertanya sesuatu yang membuatku ingin marah.

“Gwe, apa kau tak memberitahu Luna, jika kami akan ke tempat pameran? Mungkin saja ia mau ingin ikut. Bukankah rumahnya tak jauh dari kampus juga?”

Aku diam beberapa detik. Tiba-tiba saja pikiranku tak menentu.

“Gwe…” Panggilnya lagi.

“Ah.. Ya, aku mengirimkan pesan singkat dulu padanya.” Dengan malas aku segera mengirimkan pesan singkat pada Luna. “Katanya, dia kesana bersama temannya. Tapi, pulangnya ia ingin bersama kita.” Kataku pelan ketika memberitahu tentang Luna. Rasanya saat itu aku ingin menangis.

“Hmm.. Oke deh. Kita langsung ke sana aja.”

***

Selesai pameran, kami langsung balik pulang. Kali ini kami tak bertiga lagi tetapi berempat, karena ada Luna bersama kami. Seketika suasana menjadi hening. Kami bingung ingin bercerita apa, aku yang biasanya banyak bicara, kini hanya diam. Terutama Jinki.

“Makan, yuk?” Ujar Dongwoon memecah kesunyian dalam mobil. Terlihat jika ia tak suka dengan suasana seperti ini.

“Boleh. Dimana? Ah.. Aku lapar.” Tanya Jinki gelagapan. Terlihat jika ia gugup.

“Gweboon, Luna, apa kalian juga lapar?” Tanya Dongwoon memutar setengah tubuhnya ke belakang untuk bertanya pada kami. Kami hanya menganggukkan kepala. “Jadi, mau makan dimana nih?” Tanyanya lagi.

“Terserah ajalah. Aku ngikut aja.” Jawabku datar, sebenarnya aku tidak terlalu lapar.

Ddukbokkie aja, gimana?” Tanya Jinki.

“Boleh.” Jawab kami bertiga serempak.

***

Selesai makan, kamipun segera pulang. Tapi kami mengantarkan Dongwoon terlebih dahulu. Karena rumahnya tidak di daerah kampus, seperti kami bertiga. Hal itu membuat Jinki duduk sendirian di depan.

“Gwe, duduk di depan gih.” Dongwoon menyuruhku untuk duduk di depan.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, “Lun, kamu duduk di depan aja, yah? Aku lebih suka duduk di belakang.” Ujarku berbohong. Sebenarnya aku ingin duduk di depan menemani Jinki, tapi tubuhku seolah menolak untuk beranjak dari kursi belakang.

Akhirnya Luna mengalah dan duduk di depan menemani Jinki.

Selama perjalanan, Jinki hanya mengajak Luna berbicara. Seolah melupakanku. Aku hanya menatap jalan di balik jendela mobil. Rasanya aku ingin nangis saat ini juga. Sikap Jinki berbeda saat ia menemaniku untuk menunggu Jonghyun oppa, kala itu.

Tanpa sadar, mobil inipun berhenti. Aku membetulkan dudukku, menatap sekitar.

“Akhirnya sampai juga. Jinki-ssi, gamsahamnida.” Luna menundukkan kepalanya seraya mengucapkan terimakasih. Ia segera keluar dari mobil kemudian membuka pintu belakang. “Bonnie, sekarang giliranmu duduk di depan.” Ucapnya.

Aku hanya tersenyum dan menganggukan kepala. Kemudian pindah ke depan. “Kami balik dulu ya, Luna. Selamat beristirahat.” Ucapku seraya berpamitan padanya.

Kini, hanya aku dan Jinki yang ada di dalam mobil. Suasana kembali hening. Aku sungguh tak suka dengan suasana seperti ini. Ingin rasanya mengajak Jinki berbicara tapi pikiranku tak sejalan dengan keinginanku. Aku hanya menikmati keheningan ini.

“Gwe.. mengapa tadi kau hanya diam saja?” Tanya Jinki memecah kesunyian diantara kami.

“Hmm.. Tidak apa-apa, Jinki-ssi. Aku hanya mengantuk.” Jawabku dengan malas. Aku yang biasanya memakai banmal jika berbicara dengannya, kini menjadi formal. Aku suntuk dengan keadaan seperti ini.

Ia menatapku sekilas, mengacak rambutku. Kemudian fokus lagi untuk menyetir, “kau jangan berbohong padaku, Gwe.”

“Aku tidak berbohong. Ah, sudahlah.”

“Gwe..” Ucapnya tertahan. Aku dapat mendengar hembusan nafasnya yang berat. “Boleh aku bertanya sesuatu padamu?”

“Bolehlah. Katakan saja.”

“Hmm.. Menurutmu Luna itu seperti apa? Aku rasa kamu mengetahui tentang Luna. Aku lihat beberapa hari ini kau dekat dengannya.” Tanya Jinki seraya tersenyum manis padaku.

Hening. Aku tak tahu harus menjawab apa. Lagi. Rasanya aku ingin marah, ingin teriak, ingin menangis sekencang mungkin. Mengapa Jinki harus bertanya tentang Luna padaku? Apakah ia tak tahu, jika aku menyukainya?

“Gwe..? Apa kau baik-baik saja?” Tanyanya khawatir.

“Ah.. Aku baik-baik saja. Tadi kau bertanya apa? Mianhae, aku tidak mendengarkanmu.” Jawabku gugup.

Gwaenchana.. Aku hanya bertanya, menurutmu Luna itu seperti apa?” Ia mengeulang kembali pertanyaannya, karena sesaat tadi aku tak menjawabnya.

“Luna.. Dia itu baik, menyenangkan jika berbicara dengannya karena ia mengetahui banyak hal. Dia juga lucu dan menggemaskan. Ada apa, Jinki-ssi?” Tanyaku hati-hati.

“Ah.. Tidak apa-apa, Gwe.”

“Apa kau menyukainya?” Kali ini suaraku seperti tertahan. Berat rasanya harus bertanya seperti ini, tapi aku ingin mengetahuinya.

“Entahlah. Tapi aku senang melihatnya tertawa, aku merasa nyaman berada di dekatnya.” Jawabnya tenang.

“Kalau seperti itu, dekati dia, Jinki-ssi. Jika tidak, dia takkan tahu perasaanmu padanya.” Aku mencoba menyemangatinya walau hati ini terasa perih.

“Aku inginnya seperti itu, Gwe. Tetapi, aku ingin mengetahui tentangnya dulu. Apa kau mau membantuku, Gwe?” Tangan kanannya memegang tangan kiriku seraya tersenyum manis padaku.

“Baiklah. Aku akan membantumu sebisaku.”

Mengapa aku tak bisa menolaknya? Aku rasa beberapa menit lagi, air dari mataku akan keluar. Rasanya aku ingin cepat sampai rumah dan meluapkan segalanya.

Jinki, andai kau tahu apa yang kau rasakan. Perih saat kau memintaku untuk membantumu mendekatinya. Berat rasanya mengiyakan permintaanmu. Aku harap, suatu saat kau akan mengerti tentang rasa yang aku ciptakan untukmu.

***

Kelas masih sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang baru datang. Aku duduk di bangku seperti biasa, tempat yang dekat dengan jendela. Aku meletakkan tanganku diatas meja, kemudian meletakkan kepala diatasnya seraya tertidur.

Aku menatap Minho yang datang dengan tergesa-gesa. Ia memakai kaos abu-abu polos dan jeans hitam.  Tas ransel besar yang dibawanya, menarik perhatianku. Dia meletakkan tasnya di meja tepat disampingku kemudian ia langsung duduk di sebelahku.

“Kau membawa apa, Minho-ssi? Sepertinya tasmu berat. Bukankah mata kuliah kita hari ini hanya menggmbar?” Tanyaku keheranan.

“Aku bawa kamera, Gwe. Habis kuliah ini aku akan mengikuti lomba foto. Dan juga bawa laptop untuk mengeditnya nanti.”

“Ooh. Pantas saja terlihat berat.”

“Hehe. Begitulah.” Ia tersenyum kearahku seraya mengacak rambutku.

DEG! Mengapa jantungku berdebar lebih hebat? Minho masih mangacak-acak rambutku. Iapun masih menunjukkan senyum manisnya itu. Ah.. tapi tetap saja masih manisan senyumnya Jinki.

Ia melepaskan tangannya dari rambutku. Kemudian asyik dengan laptopnya.

Tak berapa lama, dosennya pun datang, Mrs. Park. Mahasiswa yang sebelumnya masih di luar, kini berhamburan untuk masuk. Posisi tempat duduk masih sama seperti biasanya. Ada Jinki di belakangku, bersama Yoseob dan Yonghwa.

“Gwe..” Bisik Jinki.

Aku menolehkan ke belakang, untuk melihatnya. Walau sebenarnya aku malas melihat wajahnya, karena akan mengingatkanku pada kejadian kala itu. “Ada apa, Jinki-ssi?”

Aku memperhatikan wajahnya, bahkan ia tak peduli jika aku berbicara formal padanya. Biasanya ia akan marah atau mengeluh padaku jika aku berbicara formal.

Ia menyunggingkan senyumnya padaku. “Sepulang kuliah nanti, aku ingin berbicara padamu. Kau pulang denganku saja ya, Gwe?”

“Mengapa tidak dibicarain disini saja?”

“Tidak bisa. Ini privacy.” Elaknya.

“Baiklah. Aku mengerti.” Aku membalikkan tubuhku ke posisi semula. Aku rasa hal yang ingin ia bicarakan itu adalah Luna. Selalu perempuan itu.

***

“Gwe. Yuk.” Ajaknya. Ia memakai ransel kesayangannya dan segera mengajakku untuk keluar dari kelas.

“Kita mau kemana, Jinki-ssi?” Tanyaku ketika kami berjalan beriringan menuju parkiran.

Molla.” Jawabnya cuek.

Ia segera masuk mobil, dan aku menyusulnya. Kami berlalu begitu saja meninggalkan kampus dan pergi tanpa tujuan yang tak jelas.

Hening. Suasana seperti ini selalu terjadi diantara aku dan Jinki, terlebih ketika Jinki menceritakan semua tentang Luna. Biasanya aku selalu cerita banyak dan ia selalu menanggapinya. Membuat suasana menyenangkan tetapi tidak dengan saat-saat ini.

“Gwe..” Ucapnya mengusir kesunyian.

“Iya?”

“Hmm.. Kita ke kedai es krim, yuk? Apa kau mau?” Tanyanya. “kau kan suka sekali dengan es krim.” Lanjutnya seraya tersenyum padaku.

“Boleh.  Terserah kau saja, Jinki-ssi.”

Tak berapa lama, kami sampai di kedai es krim yang menjadi tempat favorite kami. Tempatnya cukup sejuk dengan beberapa pohon yang tumbuh di dekatnya. Kami memilih tempat di bawah paying di sisi luar kedai es krim tersebut. Kedai ini selalu ramai pengunjung.

Seorang pelayan memberikan kami menu untuk memilih es krim yang kami inginkan. Setelahnya ia segera berlalu.

Tak perlu menunggu waktu yang cukup lama, es krim pesanan kami telah datang. Banana split.

“Gimana, Gwe? Enak?” Tanya Jinki sembari menunjukkan gigi kelincinya.

“Enak. Es krim di kedai ini selalu enak. Dapat mengubah nafsu yang badmood menjadi lebih baik. Es krim memang bikin adem, tentram, damai. Hehe.”

“Hahaha.. ada-ada saja kau, Gwe.” Tawanya.

“Jinki-ssi.. Langsung ke topic utama saja. Kau mengajakku kesini karena ingin membicarakan hal apa?”

“Aku.. Aku ingin menyatakan perasaanku pada Luna, Gwe. Aku sering mengirimkan pesan singkat padanya. Dan sepertinya ia memberiku lampu hijau untuk terus melaju. Menurutmu, aku harus bagaimana, Gwe?”

Sejenak, aku hanya diam mematung. Seharusnya aku tahu jika ia mengajakku kesini karena ingin membicarakan Luna. Tapi, aku tak menyangka jika ia ingin menyatakan perasaannya ke Luna.

“Gwe..” Panggilnya, tangannya ia ayun-ayunkan di depan wajahku.

“Eh? Hmm.. Kalau kau memang mencintainya dan yakin jika ia pilihan hatimu. Kau segera menyatakan perasaanmu padanya, sebelum ia dimiliki orang lain. Bukankah ia sudah memberimu sinyal? Itu tandanya jika ia juga menyukaimu.” Jawabku.

Rasanya aku ingin menangis. Setegarnya aku, aku tetap saja rapuh. Es krim yang tadi aku makan dengan semangat kini tak tersentuh sama sekali. Nafsu untuk makan es krimku telah hilang.

“Begitu ya, Gwe? Baiklah. Aku akan segera menyatakan perasaanku padanya.”

“Kapan kau akan menyatakan perasaanmu padanya?” Tanyaku ragu.

“Besok. Menurutmu?”

“Terserah kau saja, Jinki-ssi. Jika kau merasa lebih cepat lebih baik, ya segera saja kau menyatakannya. Good luck!” Aku malah menyemangatinya untuk menyatakan perasaannya ke Luna. Bodoh!

“Gomawo, Gwe.” Ia memelukku sekilas kemudian tersenyum manis padaku.

‘Jinki! Hentikan senyumanmu itu. Senyummu itu hanya membuatku terus berharap.’

“Sama-sama, Jinki-ssi.”

“Hmm.. Mengapa es krimnya tidak kau habiskan?”

“Ah.. Aku kenyang.”

“Ya sudah. Kita pulang saja yuk?” Aku menganggukan kepalaku.

Kami segera pergi dari sana. Aku ingin segera merebahkan diriku di atas kamar dan menangis sepuasnya.

***

Sepertinya hari ini, Jinki sudah menyatakan perasaannya pada Luna. Apakah Luna menerima cintanya? Molla. Jika memang Luna yang terbaik untuk Jinki, aku ikhlas. Cukuplah dengan melihatnya bahagia.

Aku memainkan ponselku menunggu kabar dari Jinki. Biasanya ia akan memberiku kabar jika ada sesuatu, ia juga berjanji padaku akan memberi kabar jika ia diterima ataupun tidak oleh Luna. Tapi nyatanya, tak ada pesan masuk sedari tadi. Ah whatever! Lebih baik aku tidur saja, menenangkan pikiran yang kacau. Aku meletakkan ponselku ke atas nakas.

Ddrrrtt.. Ddrrrtt..
Ponselku bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Jinki-kah? Aku segera mengambil ponsel itu dan segera melihat siapa si pengirim pesan singkat. Ternyata bukan dari Jinki.

From: 최민 ^^
Gweboon, apa kau sedang di rumah?

To: 최민 ^^
Iya, Minho-ssi. Ada apa?

From: 최민 ^^
Aku di depan rumahmu. Bisakah kau keluar?

To: 최민 ^^
Baiklah.

Aku tak segera membukakan pintu untuk Minho, aku malah memandangi pesan yang ia kirimkan padaku. Jujur saja, aku masih terkejut akan kedatangannya ke rumahku. Pasalnya, ia sama sekali  tak pernah mampir ke rumahku walau sekedar mengerjakan tugas. Tapi kini? Molla.

Aku segera beranjak dari dudukku untuk menuju ke pintu depan dan membukakannya pintu. Ia sudah berdiri di depan motornya seraya memainkan ponselnya. Ia mengenakan kaos biru muda dengan hoodie warna biru tua, celana jeans, sneaker. Simpel tapi ia tetap terlihat keren.

Aku menghampiri dan tersenyum padanya. “Ada apa, Minho-ssi? Tumben kau main ke tempatku?”

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengerjakan tugas bersama. Aku bosan di rumah. Yang lain?”

“Heh? Mengerjakan tugas? Bahkan aku tak memikirkannya sama sekali, aku masih malas mengerjakannya. Hehe. Dan yang lain, mereka tak menghubungiku. Sepertinya mereka tak kesini.”

Kamipun masuk kedalam rumah, ke teras belakang tentunya. Tempat ternyaman untuk mengerjakan tugas. Ia duduk di pijakan lantai seraya melihat halaman belakang. Aku duduk disampingnya seraya memberikan minum.

“Mengapa liburan seperti ini, kau malah ingin mengerjakan tugas? “ Tanyaku di sela diam kami.

“Hmm. Aku hanya ingin mengerjakan saja, Gwe.” Ia mengacak-acak rambutku.

“Kau tidak berkencan dengan SeoHyun?”

Dia diam sejenak kemudian melanjutkan pembicaraannya, “tidak. Aku sudah putus dengannya.”

“Eh? Sejak kapan? Bukankah kalian terlihat serasi dan kompak.”

“Sejak 3 bulan yang lalu, Gwe. Ya sudah, jangan dibahas. Kita kerjakan tugas saja.” Ia membalikkan badannya dan mengeluarkan barang-barang yang dibawanya. “Oya, Gwe. Ini untukmu.” Ia menyerahkan 3 buah papan yang berukuran 20cmx20cm padaku.

“Buatku? Beneran?”

“Tentu saja. Aku tahu, kau pasti belum membelinya, kan?”

“Hehe. Kau benar. Terimakasih ya, Minho-ssi.”

“Kau ini, bisakah tidak berbicara formal padaku?”

“Tentu saja, Minho-ah. Hehe”

Setidaknya malam ini aku tak kesepian, ada Minho disisiku. Kami bercanda, tertawa seraya mengerjakan tugas. Sejenak aku dapat melupakan bayangan Jinki yang tengah menyatakan perasaannya pada Luna.

***

Aku mendengar kabar dari Dongwoon, jika Luna tak menerima cinta Jinki. Ternyata Luna hanya menganggap Jinki layaknya seorang kakak, tak lebih. Hanya saja, Jinki mengartikan perhatian Luna sebagai rasa suka. Sebenarnya  Luna mencintai Jinwoon, lelaki yang selalu aktif dalam segala bidang.

Aku tak mengerti dengan perasaanku, antara senang juga sedih. Rasanya aku ingin menghibur Jinki. Karena aku tahu jika Jinki sangat menyayangi Luna, tapi mau gimana lagi. Cinta tak bisa dipaksakan. Seperti cintaku ke dia yang bertepuk sebelah tangan.

***

Tak terasa, kini kami sudah semester 3. Sudah tak ada lagi tugas-tugas yang menghasruskan kami membuat sesuatu dengan sekreatif mungkin, seperti dulu. Karena mata kuliah di semester ini, mulai fokus ke Desain Grafis.

Entah mengapa, aku dan Jinki tak seakrab dulu. Seperti ada jarak diantara kami berdua. Walau kami masih sering berkomunikasi tapi itu semua tak sesering dahulu. Di kelaspun, kami jarang berbicara jika tak ada topic yang kami sukai. Semua terasa berbeda, tak lagi sama seperti dulu.

Jinki menjauh, Minho mendekat. Ya, kini aku dan Minho semakin dekat. Yah, walau tak sebahagia jika berada di dekat Jinki Tapi Minho selalu ada buat aku, selalu menghiburku di  kala aku sedih.

Dan aku merasa nyaman jika berada di dekat Minho. Sepertinya aku mulai menyayangi lelaki ini, bukan cinta. Karena aku masih mencintai Jinki.

***

Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo

Aku mengambil ponselku yang tertimbun diantara bantalku. Deringnya terus saja berbunyi. Aku segera mengangkatnya.

“Anyeong..”

“Anyeong.. Gwe, kau lagi apa? Kita keluar yuk, menikmati udara malam kota Seoul.”

“Hmm.. Boleh deh. Kau kesini jam berapa, Minho-ah?”

“Kebetulan sekali. Aku sudah menunggumu sedari tadi di depan rumahmu.”

What? Baiklah, aku ganti baju dulu.”

Minho selalu membuat kejutan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ia selalu datang tanpa ku minta. Setelah berganti pakaian, aku segera menghampirinya di luar. Ia terlihat rapi dengan pakaian simpel yang selalu ia gunakan.

“Apa kau sudah siap, Gwe?”

“Tentu saja.”

“Ayo naik, kita bergembala menaiki roda dua berkeliling Seoul. Oke, tuan putri Gweboon.”

“Haha.. Apaan sih, Minho-ah.” Akupun segera menaiki motornya.

Kamipun segera berlalu dari sini. Ia mengajakku menikmati malam di Seoul. Ia mengarahkan motornya ke daerah Namsan Tower. Tempat berkumpulnya para remaja dan juga dewasa untuk menikmati malam Seoul dari atas ketinggian.

Ia mengajakku ke daerah gembok cinta. Mulai menuliskan keinginan di genbok itu kemudian menguncinya dan membuang kunci itu. Banyak yang percaya jika menuliskan harapan di gembok bersama kekasih tercinta kemudian kuncinya di buang ke tempat yang jauh maka hubungan yang telah di bina akan bertahan lama.

Andai Jinki ada disini, aku pasti senang dan akan mengajaknya untuk menulis janji tentang cinta kami. Namun sayang, semua hanya harapanku saja.

Jam 9 malam, kami memutuskan untuk balik ke rumah. Tapi di tengah perjalanan, hujan turun membasahi kota Seoul. Rintik itu kini berubah menjadi air yang semakin deras mengalir. Kami memutuskan untuk berteduh di salah satu ruko yang tak jauh dari sana untuk menghindar dari hujan ini. Udara yang cukup dingin untuk malam ini.

Tiba-tiba Minho merangkulku, mengusap lembut rambutku. Sedikit hangat namun damai. Aku merasa nyaman dengan suasana seperti ini. Aku ingin terus seperti ini. Tanpa terasa air mataku menetes.

Minho masih terus merangkulku. Erat. Ia tahu jika aku kedinginan, makanya ia membiarkan tangan besarnya untuk merangkulku. Tanpa aku pinta, tanganku memeluk pinggangnya, menelusupkan kepalaku di dadanya. Hangat.

Tanpa ia sadari, aku menangis dalam pelukannya. Aku tak ingin ia mengetahui jika aku menangis. Ia membalas pelukanku, menenangkanku.

“Gwe, apa kau masih kedinginan?” Tanyanya seraya memelukku lebih erat.

Ne, Minho-ah. Dingin sekali.”

Selama hamper satu jam, kami terus saling berpelukan. Kami tak peduli dengan orang-orang yang tadi sempat melihat kami. Hujan mulai berhenti, menyisakan genangan air dan juga rintik-rintik kecil.

“Gwe, kita pulang ya? Malam semakin larut.” Minho melepaskan pelukannya. “Tapi kau tak apa-apa, kan?”

Gwenchana, kita terobos saja rintik hujan ini.” Kataku.

“Ya sudah, naiklah.”

Kami segera pulang, tak peduli dengan hujan yang masih rintik. Selama di perjalanan, kami hanya diam menikmati udara malam yang dingin karena hujan. Aku tahu, kami sama-sama kedinginan.

Tiba-tiba tangannya Minho memegang tanganku dan melingkarkan ke perutnya. Aku tersenyum, seolah mengerti maksudnya. Akupun meletakkan tanganku yang satunya ke perutnya. Ya, aku memeluknya dari belakang. Dia tahu, aku masih kedinginan. Tubuhnya terasa hangat.

“Gwe, sudah sampai.” Ucapnya menyadarkanku.

“Akhirnya. Untung rintik hujannya berhenti ya?” Aku segera turun dari motornya.

Minho menatapku tajam, “Gwe, wajahmu pucat. Masuklah kemudian tidur.” Ia memegang keningku, “dan lagi, badanmu hangat, Gwe. Istirahatlah.”

Aku menganggukan kepalaku. “Baiklah. Gomawo, Minho-ah.

Aku masuk ke dalam rumah. Sepi. Sepertinya Jonghyun Oppa masih asyik berlatih music di studio. Aku segera menuju kamarku, kemudian mengganti pakaianku yang basah. Dan merebahkan diriku ke tempat tidur. Aku mengingat kejadian tadi, saat Minho memelukku. Mencoba melindungiku agar aku tak kedinginan. Aku ingin Jinki yang melakukan seperti tadi. Aku juga ingat saat Minho menyentuh keningku. Sama persis seperti yang di lakukan Jinki padaku.

Argh! Aku merindukan Jinki. Apa yang ia lakukan kini? Baik-baik sajakah dia? Aku menuju meja belajarku. Mulai membuat gambar wajahnya Jinki. Orang yang selalu aku rindukan.

Kepalaku mendadak pusing, badanku semakin terasa panas.

“Hachiimm.. hachiimm.. hachiimm..” Ah! Sepertinya aku terkena flu.

Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo

Aku mengambil ponselku. Dan segera mengangkat telepon yang sedari tadi berbunyi. Berat rasanya menuju tempat tidur.

Anyeong..

“Gwe, kau tak apa-apa?”

“Aku baik-baik saja, Minho-ah.”

“Jangan berbohong padaku, Gwe.”

“Hmm.. aku hanya pusing saja. Tapi aku sudah minum obat, kok.”

“Aku kesana sekarang.”

“Tapi, Minho-ah, aku baik…”

Rupanya sambungan telepon sudah diputus terlebih dahulu oleh Minho. Aku tak mau membuat Minho khawatir. Aku segera menelpon Jonghyun oppa.

Anyeong, oppa.. oediga?

Oppa masih di studio, besok ada pentas. Jadi, oppa harus berlatih. Waeyo, Boonie?”

“Ah, tak apa-apa, oppa.”

“Kau sakit?”

“Hanya flu. Tadi aku kehujanan.”

“Ya sudah, sebentar lagi oppa balik. Tunggu ya, Boonie.”

Arasso, oppa.

Aku menutup teleponnya dan berbaring di atas tempat tidur. Kepalaku rasanya semakin pusing. Badankupun semakin panas.

Stand by me nareul parabwajwo
Choum to kakkawo chigoshipo
Stand by me nareul jikyobwajwo
Jom do mochige boigoshipo

Ponsel di genggamanku kembali bordering. Aku melihat namanya di layar. Minho. Aku segera mengangkatnya.

Annyeong, Minho-ah.”

“Aku di depan rumahmu, Gwe.”

“Aku ke sana.”

Minho begitu cepat sampai di rumahku, padahal jarak rumah kami lumayan jauh. Kurang lebih setengah jam jika menggunakan motor. Aku segera ke depan dan membukakan pintu.

“Cepat sekali kau sampai, Minho-ah? Bukankah rumah kita lumayan jauh?” Ia tak menjawab pertanyaanku, ia asyik memasukkan motornya ke garasi.

Dengan sigap ia menyentuh keningku kembali, “panas.” Ucapnya.

Hachiimm.. hachiimm.. hachiimm.. Kepalaku semakin pusing dan pandanganku mulai kabur.

Brug!

“Heh? Gwe! Gwe!” Samar, aku mendengar Minho meneriaki namaku kemudian menggendongku dan membawaku ke kamar. Merebahkan ke tempat tidur dan menyelimutiku.

Sepertinya aku tertidur cukup lama. Aku menatap sekeliling kamarku, aku tak menemukan Minho. Mungkin ia sudah pulang.

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Muncul Minho dengan membawa nampan yang berisi bubur dan segelas air putih.

“Rupanya kau sudah bangun, Gwe.”

“Iya. Kau darimana, Minho-ah?”

“Dari dapur. Aku membuatkan bubur untukmu. Ayo di makan.”

“Aku tak mau. Aku tak nafsu makan.”

“Ayolah. Habis itu minum obatnya.” Ia meniupi bubur yang panas itu kemudian mendekatkannya ke mulutku.

Aku menggelengkan kepalaku. “Aku tak mau, Minho-ah.

“Kau tak menghargai usahaku, yang telah membuatkan bubur ini untukmu, Gwe.” Kemudian ia meletakkan bubur itu ke meja nakas.

“Baiklah. Aku akan memakannya.” Ucapku pada akhirnya.

“Nah, gitu dong!” Ia kembali menyuapiku.

Setelah bubur habis, ia memberiku obat. Kemudian merebahkanku kembali dan menyelimutiku. Minho begitu perhatian padaku. Aku tak menyangka, seseorang yang playboy ini bisa seperhatian ini pada temannya. Dan aku merasa nyaman dengan semua ini.
“Ya sudah, sekarang kau istirahat ya?” Ia mengelus rambutku dengan lembut.

Aku menggenggam tangannya kemudian memejamkan mata.

“Selamat tidur, cantik.”

Jam 4 pagi, aku terbangun. Kepalaku terasa pusing. Aku mendapati Minho yang tertidur di samping tempat tidurku, tangannya masih menggenggam tanganku. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Membelai rambutnya dan menggenggam tangannya lebih erat.

“Andai kamu Jinki, Minho-ah.”
.
.
.
- to be continued -

.

No comments:

Post a Comment